Wednesday, August 23, 2017

Salam Terakhir

Penutup Semua Kisah Sherlock Holmes 



Ketika itu pukul sembilan malam, tanggal 2 Agustus—Agustus paling menyedihkan dalam sejarah umat manusia. Orang mungkin akan langsung berpikir bahwa kutukan Tuhan sedang melanda dunia yang makin rusak ini, karena walaupun suasananya tenang-tenang saja, ketakutan dan ketidakpastian melayang-layang di udara yang panas tak bergerak. Matahari sudah tenggelam sejak tadi, tapi sederet awan jingga bak luka yang menganga masih tergantung rendah di langit sebelah barat di kejauhan. Di atas, bintang-bintang bersinar dengan cerahnya, dan di bawah lampu-lampu kapal terlihat gemerlapan dari pantai. Dua pria penting berkebangsaan Jerman berdiri di samping tembok batu pendek di sebuah jalanan taman. Di belakang mereka berdiri dengan kokoh rumah tembok yang memanjang tapi tak seberapa tinggi. Mereka sedang memandang ke bawah—ke pantai yang luas yang terletak di kaki jurang berkapur tempat Von Bork membangun rumahnya empat tahun yang lalu. 

Mereka berdua berdiri berdekatan sambil berbincang-bincang pelan dan penuh rahasia. Dari bawah, kedua api rokok mereka bagaikan sepasang mata musuh yang sedang mengintai di kegelapan. 

Von Bork orang yang luar biasa—tak ada tandingannya di antara agen-agen Kaisar Jerman yang terkenal sangat setia. Berkat keahliannya inilah dia dikirim untuk melakukan tugas pengintaian di Inggris—negara sasaran mereka yang paling utama. Sejak dia mengemban tugas itu, keahliannya menjadi semakin terbukti bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Salah satu dari mereka adalah orang yang sekarang menemaninya, Baron Von Herling, sekretaris kedutaan yang memiliki mobil Mercedes Benz berkekuatan 100 tenaga kuda. 

"Sejauh yang bisa kumengerti dari rangkaian peristiwanya, kau mungkin akan kembali ke Berlin dalam seminggu ini," kata si sekretaris. "Kalau sudah sampai di sana, sobatku Von Bork, kurasa kau akan terkejut atas sambutan meriah yang akan kauterima. Aku kebetulan tahu bagaimana pendapat pimpinan-pimpinan di pusat atas prestasimu di negeri ini." Baron Von Herling berperawakan besar, gaya bicaranya tak terburu-buru tapi mantap, aset utamanya dalam karier politiknya. 

Von Bork tertawa. "Tak terlalu susah mengelabui orang-orang Inggris ini," komentarnya. "Mereka begitu penurut dan lugu." 

"Aku tak begitu yakin akan hal itu," kata temannya sambil berpikir. "Mereka punya 'batas-batas' tertentu, dan kita harus tahu hal itu. Penampilan mereka yang tampaknya lugu itulah yang menjadi jerat bagi orang yang tak begitu memahami mereka. Mula-mula kita mendapat kesan mereka betul-betul lunak. Tapi mereka bisa tiba-tiba bersikap sangat keras dan kita sadar telah melampaui 'batas' mereka. Kita tak dapat berbuat apa-apa kecuali menerima saja kenyataan itu. Mereka, misalnya, memiliki konvensi-konvensi yang harus dipatuhi." 

"Maksudmu sopan santun dan semacamnya?" Von Bork mengeluh seperti orang yang telah banyak menanggung penderitaan. 

"Maksudku prasangka orang Inggris dalam perwujudannya yang aneh-aneh. Sebagai contoh, aku bisa mengemukakan salah satu kesalahanku yang sangat fatal. Aku berani membicarakan ini karena kau tahu benar tentang pekerjaan dan prestasiku. Dan itu terjadi ketika aku baru tiba di sini untuk pertama kalinya. Aku diundang ke pertemuan akhir pekan di rumah peristirahatan seorang menteri kabinet. Percakapan mereka sangat bebas, tidak hati-hati." 

Von Bork mengangguk. "Aku pernah diundang ke pertemuan seperti itu," katanya dengan nada kering. 

"Well, aku tentu saja mengirim laporan ke Berlin tentang informasi yang kudapatkan di situ. Ternyata apa yang mereka katakan bukan rahasia. Atasanku langsung mengirim balasan, mengatakan dia sudah tahu tentang semua itu. Akibatnya sangat fatal bagi karierku, dua tahun aku harus menebus kesalahan itu. Ingatlah baik-baik, keramahan tuan rumah kita pada acara-acara seperti itu bukannya tak ada maksudnya. Cara yang kau tempuh memang lebih efektif, pura-pura jadi pencinta olahraga." 

"Tidak, tidak, jangan bilang aku berpura-pura. Aku memang gemar berolahraga, aku sangat menikmatinya." 

"Itu malah lebih baik lagi. Kau berlomba perahu dengan mereka, berburu, main polo. Kau bahkan mau bertinju dengan petugas-petugas Inggris yang masih ingusan. Apa hasilnya? Kau dianggap tak berbahaya, teman mereka, orang Jerman yang cukup baik, yang suka minum-minum dan berhura-hura. Di rumahku mereka berbicara dengan bebas, mengumbar rahasia, sama sekali tak menyadari tuan rumahnya agen rahasia paling andal di seluruh Eropa. Jenius, sobatku Von Bork—jenius!" 

"Pujianmu terlalu berlebihan, Baron, tapi memang kuakui selama empat tahun bertugas di negeri ini, aku bukannya tak menghasilkan apa-apa. Kau belum pernah melihat koleksiku yang tak seberapa besar, kan? Mau mampir untuk melihat sebentar?" 

Ruang baca dapat dicapai langsung dari teras Von Bork mendorong pintunya sambil menunjukkan jalan dan menghidupkan lampu. Ditutupnya pintu dan diaturnya gorden berat yang menutupi jendela yang berkisi-kisi. Setelah melakukan semua tindakan pengamanan ini, barulah dia memalingkan wajahnya yang terbakar matahari ke tamunya. 

"Beberapa berkas yang tak begitu penting telah dibawa," katanya, "oleh istriku dan rombongannya. Mereka berangkat ke Flushing kemarin. Tentu saja, aku harus minta perlindungan dari kedutaan untuk barang-barang lainnya." 

"Namamu tercatat sebagai salah satu orang yang mahapenting. Baik dirimu maupun bagasimu tak akan mengalami kesulitan. Tentu masih ada kemungkinan kita tak perlu meninggalkan negeri ini. Inggris mungkin tak akan membantu Francis. Kami yakin di antara mereka tak ada perjanjian apa-apa." 

"Bagaimana dengan Belgia?" 

"Inggris juga tak akan membantu Belgia." 

Von Bork menggeleng. "Aku tak mengerti kenapa bisa begitu. Aku tahu betul ada perjanjian di antara mereka. Tak mungkin Inggris melanggar janji" 

"Paling tidak itu membuat negeri ini aman selama beberapa waktu." 

"Tapi kehormatannya?" 

"Tut, sobatku, kita hidup di zaman yang serba praktis. Kehormatan adalah konsep yang sudah kuno. Di samping itu, Inggris memang tidak siap. Bahkan pajak perang khusus bernilai 50 juta— yang mengungkapkan maksud kita dengan begitu jelasnya seakan kita memasang iklan di halaman depan Times—tak membuat orang-orang itu bergeming dari tidurnya yang lelap. Di sana-sini orang bertanya-tanya. Dan tugasku ialah mencari jawabannya. Di sana-sini juga ada gangguan-gangguan. Tugaskulah untuk meredamnya. Tapi aku berani memastikan, sejauh ini, kalau dilihat dari hal-hal yang penting—penyimpanan amunisi, persiapan penyerangan kapal selam, pengaturan pembuatan bom—mereka sama sekali belum siap. Bagaimana Inggris mau ikut perang, kalau kita telah menggelitik mereka melalui perang saudara di Irlandia, kerusuhan di mana-mana, dan masih banyak lagi urusan dalam negeri yang harus diselesaikan?" 

"Negara ini harus memikirkan masa depannya juga?" 

"Ah, itu soal lain. Aku bisa membayangkan, di masa depan, kita punya rencana khusus bagi Inggris, dan informasi yang kaudapatkan akan sangat berguna bagi kita. Cepat atau lambat Inggris harus terjun juga ke dalam kancah peperangan. Kalau mereka mau, sekarang kita sudah siap. Nanti, lebih baik lagi. Kupikir lebih bijaksana bila mereka berperang bersama negara-negara sekutu daripada sendirian, tapi itu pun terserah mereka. Minggu ini minggu penentuan bagi mereka. Tapi kau tadi menyebut-nyebut tentang berkas-berkasmu." Dia duduk di kursi berlengan, sehingga lampu menyinari botak lebar di kepalanya. Dia mengisap cerutunya dengan asyik. 

Ruangan besar berlapis kayu ek dan penuh buku itu dilengkapi dengan gorden di salah satu sudutnya. Ketika gorden itu disingkapkan, tampak lemari besi besar yang terbuat dari kuningan. Von Bork mengambil kunci kecil yang tergantung pada rantai arlojinya lalu membuka lemari besi itu. 

"Lihat!" katanya. Dia berdiri dengan bangga sambil melambaikan tangan. 

Lampu menerangi lemari besi yang terbuka itu dengan sangat jelas, dan dengan penuh minat sekretaris kedutaan itu menatap ke deretan kotak arsip yang memenuhi lemari besi itu. Matanya menelusuri label-label yang tertera pada tiap kotak. "Ford", "Pertahanan Pantai", "Kapal Terbang", "Irlandia", "Mesir", "Benteng Portsmouth", "Selat Inggris", "Rosyth", dan masih banyak lagi. Tiap kotak penuh dengan berkas-berkas dan perencanaan-perencanaan. 

"Hebat sekali!" kata si sekretaris. Dia meletakkan cerutunya, lalu bertepuk tangan. 

"Inilah hasil kerjaku selama empat tahun, Baron. Tak bisa dikatakan jelek, untuk pencinta olahraga yang suka minum dan berhura-hura. Tapi yang paling menarik dari seluruh koleksiku adalah apa yang akan segera kudapatkan, dan aku menyediakan tempatnya." 

Dia menunjuk sebuah kotak berlabel "Sinyal-sinyal Angkatan Laut". 

"Tapi bukankah kau sudah punya dokumen tentang itu?" 

"Sudah kadaluwarsa. Departemen Angkatan Laut Inggris sempat diperingatkan tentang bocornya dokumen itu, sehingga semua kodenya lalu diubah. Pukulan berat, Baron—benar-benar kemunduran terburuk yang pernah terjadi sepanjang karierku. Tapi syukurlah, berkat kekuatan cekku dan orang bernama Altamont ini, semuanya akan beres malam ini." 

Baron melirik jam tangannya, lalu menggerutu dengan penuh kecewa. 

"Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Keadaan di Carlton Terrace sibuk sekali, dan kami semua harus bersiaga di pos masing-masing. Tadinya aku berharap bisa membawa berita tentang langkahmu yang hebat ini. Apakah Altamont tak menyebutkan jam berapa dia akan datang?" 

Von Bork menunjukkan sebuah telegram. 
Akan datang malam ini membawa steker kelap-kelip. Altamont.
"Steker kelap-kelip, eh?"

"Dia pura-pura menjadi montir, dan komunikasi kami memakai kode suku cadang mobil. Radiator maksudnya kapal perang, pompa minyak maksudnya kapal patroli, dan lain-lain. Steker kelap-kelip maksudnya sinyal-sinyal Angkatan Laut." 

"Dari Portsmouth siang ini," kata si sekretaris sambil mengamati telegram itu. "Omong-omong, imbalan apa yang kauberikan kepadanya?" 

"Lima ratus pound untuk tugas khusus seperti ini. Di samping itu dia masih menerima gaji bulanan." 

"Bajingan serakah. Mereka—para pengkhianat ini—memang besar jasanya bagi kita, tapi biayanya juga tak kepalang tanggung." 

"Untuk Altamont, aku tak keberatan walau harus membayar mahal. Dia pekerja yang hebat. Kalau imbalannya cukup banyak, paling tidak dia pasti akan mengirim barang yang dipesan—begitu dia mengistilahkannya. Lagi pula, dia bukan pengkhianat. Dia keturunan Amerika-Irlandia yang benci sekali pada Inggris." 

"Oh, keturunan Amerika-Irlandia?" 

"Kalau kau mendengarnya berbicara, kau pasti tak akan meragukannya. Kadang-kadang, aku sendiri tak mengerti maksudnya. Apakah kau benar-benar harus pergi sekarang? Dia mungkin akan tiba tak lama lagi." 

"Ya. Maaf, tapi aku sudah terlalu lama di sini. Kami ingin bertemu denganmu besok pagi-pagi, dan kalau berhasil mendapatkan sinyal itu, kau benar-benar akan mengakhiri tugasmu di Inggris dengan suatu prestasi yang luar biasa. Apa ini? Tokay!" 

Dia menunjuk sebuah botol berdebu yang belum dibuka, yang terletak di nampan bersama dua gelas tinggi. 

"Bagaimana kalau kita minum sebelum kau pergi?" 

"Tidak, terima kasih. Sepertinya mau ada perayaan?" 

"Altamont punya selera yang hebat dalam hal anggur, dan sangat menyukai Tokay. Dia sangat sensitif dan aku harus sedikit memanjakannya. Aku belajar banyak untuk mengerti dirinya." 

Mereka berdua berjalan ke luar. Sopir Baron menghidupkan mesin mobil. 

"Itu lampu-lampu Pelabuhan Harwich, bukan?" tanya si sekretaris sambil mengenakan mantelnya. "Tampak tenang dan damai. Dalam minggu ini akan muncul lampu-lampu lain, dan koyaklah ketenangan di pantai Inggris. Langitnya pun tak akan tenang lagi kalau pimpinan angkatan udara kita memenuhi janjinya. Eh, siapa itu?" 

Terlihat cahaya yang berasal dari sebuah jendela tepat di belakang mereka. Di balik jendela itu duduk seorang wanita tua berwajah kemerahan, mengenakan topi khas pedesaan. Dia sedang asyik merenda sambil sesekali berhenti untuk membelai kucing hitam besar yang duduk di bangku di sampingnya. 

"Itu Martha, satu-satunya pembantuku yang masih tinggal." 

Si sekretaris tergelak. 

"Dia bisa menggambarkan Inggris Raya," katanya, "begitu asyiknya, dan terkantuk-kantuk. Nah, sampai ketemu lagi, Von Bork!" Sambil melambai dia masuk ke mobilnya, dan sekejap kemudian kedua sinar lampu depan mobilnya yang keemasan menjauh menembus kegelapan malam. Dia duduk bersandar di bantalan kursi limusinnya yang mewah. Pikirannya begitu dipenuhi dengan tragedi yang akan melanda Eropa, sehingga dia nyaris tak memperhatikan ketika mobilnya membelok keluar dari jalan pedesaan itu, dan hampir saja menabrak mobil Ford kecil yang datang dari arah berlawanan. 

Dengan perlahan Von Bork berjalan kembali ke ruang bacanya ketika sinar lampu mobil tamunya telah menghilang di kejauhan. Dilihatnya pembantu tuany telah memadamkan lampu dan pergi tidur. Rumah yang serba sepi dan gelap begini merupakan pengalaman baru baginya, karena biasanya tempat itu selalu ramai oleh celoteh dan staf rumah tangganya yang lumayan besar. Tapi dia lega karena mereka semua dalam keadaan aman dan di situ tak ada orang lain—kecuali wanita tukang masak tua yang bersikeras tetap tinggal melayaninya. Ada banyak dokumen yang perlu dimusnahkannya dan dia mulai melakukannya, saat itu juga, sampai wajahnya yang tampan dan selalu waspada memerah akibatnya panasnya api yang membakar kertas-kertas. Dia memasukkan isi lemari besi ke sebuah koper kulit kecil dengan sangat rapi dan sistematis. Namun belum lama dia bekerja, telinganya yang tajam menangkap suara mobil di kejauhan. Dengan segera dia berteriak gembira, menutup kopernya, mengunci lemari besinya, dan bergegas ke luar. Tepat pada waktu itulah dia melihat sebuah mobil kecil berhenti di pintu gerbang rumahnya. Penumpangnya melompat ke luar dan bergegas menghampirinya, sementara sopirnya—pria tua bertubuh agak gemuk dan berjenggot abu-abu—duduk bersandar seakan siap menunggu lama. 

"Bagaimana?" tanya Von Bork dengan penasaran sambil berlari mendekati tamunya. 

Sebagai jawaban, tamu itu melambaikan sebuah bungkusan kecil terbungkus kertas cokelat ke atas kepalanya. 

"Anda bisa menyerahkan imbalannya kepada saya malam ini juga, Mister," teriaknya. "Akhirnya saya berhasil membawa hadiah ini untuk Anda." 

"Sinyal-sinyal itu?" 

"Seperti yang tertulis di telegram saya. Lengkap dan aktual, sinyal bendera, kode lampu, Marconi— tapi cuma salinannya, bukan aslinya. Terlalu berbahaya kalau harus mendapatkan yang asli. Tapi ini persis aslinya, dan Anda tak perlu ragu." Dia menepuk pundak orang Jerman itu dengan akrab sampai Von Bork mengernyit. 

"Silakan masuk," katanya. "Saya sendirian di rumah. Saya tinggal menunggu ini. Tentu saja salinan justru lebih baik daripada aslinya. Kalau mereka tahu dokumen aslinya telah hilang, mereka akan mengubah semua kodenya. Menurut Anda salinan ini cukup aman?" 

Pria berdarah campuran Amerika-Irlandia itu telah masuk ke ruang baca dan mengembangkan kedua lengannya pada lengan kursi. Tubuhnya kurus tinggi, usianya enam puluhan, wajahnya kejam, dan jenggotnya tipis seperti kambing sehingga dia benar-benar mirip karikatur Paman Sam. Sebatang rokok yang baru diisap separo bertengger di salah satu sudut bibirnya dan ketika sudah duduk, dia lalu menyalakan korek untuk menyulut rokoknya lagi. 

"Siap berangkat?" tanyanya sambil menengok ke sekeliling. "Katakan, Mister," tambahnya ketika matanya menatap lemari besi yang gordennya tersingkap. "Anda tak menyimpan berkas-berkas di lemari besi itu, kan?" 

"Memangnya kenapa?" 

"Wah, dengan pintu yang gampang dibuka seperti itu! Padahal Anda termasyhur sebagai mata-mata andal. Orang Amerika dengan mudah bisa mencongkelnya dengan pembuka botol. Kalau saja saya tahu surat saya akan disimpan di tempat seperti itu, saya tak akan berani tulis surat kepada Anda." 

"Siapa pun yang ingin membuka lemari itu secara paksa akan terbengong-bengong," jawab Von Bork. "Tak ada alat yang mampu membuka kotak baja itu." 

"Tapi kuncinya itu?" 

"Kuncinya memiliki kombinasi ganda. Anda tahu apa artinya?" 

Orang Amerika itu menggeleng. 

"Well, Anda perlu kata dan sederet angka sebelum kunci itu bisa dibuka." Dia bangkit dan menunjukkan rangkaian huruf dan angka yang bersinar-sinar di sekeliling lubang kunci. "Yang sebelah luar ini untuk huruf-huruf, sedangkan sebelah dalamnya untuk angka-angka." 

"Well, well, bagus sekali." 

"Jadi tidak semudah yang Anda kira. Saya menyuruh orang membuat ini empat tahun yang lalu, dan coba pikir kata apa dan angka-angka berapa yang saya pilih untuk membuka lemari besi ini." 

"Saya tak mungkin menebaknya." 

"Well, saya memilih kata Agustus, sedangkan angka-angkanya adalah 1914—bulan dan tahun yang sedang kita jalan sekarang." 

Wajah pria Amerika itu menunjukkan rasa kaget dan kagum. 

"Wah, Anda memiliki pandangan ke depan yang luar biasa!" 

"Ya, saya telah memperkirakan situasinya sejak empat tahun yang lalu. Besok lemari besi ini tak akan berfungsi lagi dan saya akan berangkat." 

"Saya kira Anda harus mengatur agar saya juga bisa berangkat. Saya tak ingin tinggal di negeri ini lebih lama lagi. Paling lambat seminggu lagi Inggris akan terjun ke dalam kancah peperangan, dan saya tak mau terlibat." 

"Tapi Anda kan warga negara Amerika?" 

"Well, begitu juga Jack James, tapi dia sekarang dipenjara di Portland. Kewarganegaraan saya tak ada pengaruhnya bagi polisi Inggris. 'Yang berlaku di sini hukum dan peraturan Inggris', begitu kata mereka. Omong-omong tentang Jack James, Mister, rasanya Anda kurang serius melindungi informan-informan Anda." 

"Apa maksud Anda?" tanya Von Bork dengan tajam. 

"Anda kan bos mereka, jadi tanggung jawab Andalah untuk menjaga agar mereka tidak jatuh. Tapi ternyata mereka jatuh, dan kapan Anda pernah mengangkat mereka? James, misalnya..." 

"Itu salah James sendiri. Anda sendiri tahu. Dia terlalu ngotot melakukan pekerjaan itu." 

"James memang bodoh—itu harus saya akui. Lalu Hollis." 

"Orang itu gila." 

"Well, akhirnya dia menjadi bingung, tapi itu wajar. Siapa pun bisa jadi gila kalau harus berkecimpung di tengah-tengah seratus orang yang semuanya siap melaporkannya ke polisi. Tapi Steiner..." 

Von Bork sangat kaget, dan wajahnya yang merah menjadi agak pucat. 

"Kenapa dia?" 

"Mereka menangkapnya, cuma begitu. Mereka menggeledah tokonya tadi malam, dia dan berkas-berkasnya kini mendekam di penjara Portsmouth. Anda akan pergi, sementara dia menanggung semua akibatnya, dan masih mujur kalau tak dihukum mati. Itulah sebabnya saya ingin segera meninggalkan negeri ini." 

Von Bork berkepribadian kuat dan penuh percaya diri, tapi jelas sekali berita itu telah sangat mengguncangnya. 

"Bagaimana mereka bisa menangkap Steiner?" gumamnya. "Ini benar-benar pukulan yang mengejutkan." 

"Well, ada pukulan lain yang tak kalah mengejutkannya, karena mereka juga sebetulnya sudah mencium jejak saya." 

"Anda tak serius, kan?" 

"Saya serius. Induk semang saya di Fratton ditanyai macam-macam, dan ketika saya mendengar tentang hal itu, saya pikir sebaiknya saya secepatnya melarikan diri. Tapi apa yang saya ingin ketahui, Mister, adalah bagaimana polisi-polisi itu bisa tahu. Steiner orang kelima yang tertangkap sejak saya mulai bekerja sama dengan Anda, dan saya tahu siapa yang akan menjadi korban keenam kalau saya tak segera angkat kaki. Bagaimana Anda menjelaskan hal ini, dan tidakkah Anda malu melihat kaki-tangan Anda tertangkap seperti itu?" 

Wajah Von Bork merah padam. 

"Berani-beraninya Anda berbicara seperti itu!" 

"Kalau saya bukan pemberani, Mister, saya tak akan bekerja sama dengan Anda. Tapi saya ingin mengatakan secara langsung apa yang ada di benak saya. Saya mendengar bahwa bagi Anda— politkus politikus Jerman—tak jadi soal kalau agen Anda tertangkap, asal tugasnya telah dilaksanakan." 

Von Bork terlonjak. 

"Maksud Anda saya sengaja menyerahkan agen-agen saya sendiri?" 

"Saya tak mengatakan demikian, Mister, tapi ada kebocoran dalam jaringan mata-mata Anda dan tugas Andalah untuk mengatasinya. Yang jelas, saya tak ingin mengambil risiko lebih jauh. Saya mau berangkat ke Belanda, dan semakin cepat saya sampai di sana semakin baik bagi saya." 

Von Bork telah berhasil mengatasi kemarahannya. 

"Sudah lama kita bekerja sama. Tak perlu bertengkar sekarang ketika kita justru sedang merayakan keberhasilan kita," katanya. "Anda telah melakukan pekerjaan yang hebat, juga menanggung risiko yang besar. Saya tak akan melupakan jasa Anda. Segeralah berangkat ke Belanda, lalu dari Rotterdam Anda bisa menuju New York. Hanya jalur itu yang aman selama seminggu mendatang. Saya akan terima buku itu dan membawanya bersama berkas-berkas lain." 

Orang Amerika itu tetap saja memegangi bungkusan kecil di tangannya. Dia tak melakukan gerakan apa pun untuk menyerahkannya. 

"Bagaimana dengan uangnya?" tanyanya. 

"Apanya?" 

"Uangnya. imbalannya. Lima ratus pound. Tukang tembaknya bikin masalah, dan saya harus mengeluarkan seratus dolar ekstra. Kalau tidak, saya dan Anda tak dapat apa-apa 'Tak bisa!' katanya, dan dia tak main-main. Tapi akhirnya dia menyerah setelah saya beri tambahan seratus dolar lagi, Jadi saya sudah menghabiskan dua ratus dolar untuk buku ini, dan tak mungkin saya menyerahkan tanpa imbalan." 

Von Bork tersenyum pahit. "Anda tampaknya tak terlalu mempercayai saya," katanya. "Anda mau meminta uangnya sebelum buku itu Anda serahkan." 

"Yah, Mister, ini kan bisnis." 

"Baiklah. Keinginan Anda akan saya turuti." Dia duduk di meja dan menulis cek, tapi tak langsung menyerahkannya kepada rekan bisnisnya. "Oke, karena Anda mensyaratkan demikian, Mr. Altamont," katanya, "saya pun berhak tak mempercayai Anda. Anda mengerti?" tambahnya sambil menoleh ke orang Amerika itu. "Ceknya sudah ada di meja. Saya minta agar diperkenankan memeriksa bungkusan itu sebelum Anda mengambil ceknya." 

Orang Amerika itu menyerahkan bungkusan itu tanpa berkata sepatah pun. Von Bork membuka tali pengikat dan dua lapis kertas pembungkusnya. Lalu dia terduduk sambil menatap dengan sangat terkejut buku kecil biru yang ada di depannya. Judul yang tertera dengan huruf-huruf berwarna emas adalah Practical Handbook of Bee Culture. Cuma sesaat mata-mata termasyhur itu sanggup menatap judul aneh yang tak ada hubungannya dengan misi yang diembannya. Selanjutnya, dia sudah dicekik dari belakang oleh sepasang tangan kekar, lalu spons berkloroform ditempelkan pada wajahnya yang berkerut-kerut kesakitan. 

"Tambah segelas lagi, Watson!" kata Mr. Sherlock Holmes sambil mengacungkan botol anggur Imperial Tokay. 

Sopir yang diam-diam sudah menyelinap ke dalam ruangan dan kini duduk di meja itu mengulurkan gelasnya dengan penuh semangat. 

"Anggurnya enak sekali, Holmes." 

"Memang luar biasa, Watson. Teman kita yang menggeletak di sofa itu telah menjamin anggur ini didapatnya dari toko anggur Franz Joseph yang eksklusif, yang terletak di Schoenbrunn Palace. Tolong buka jendela itu. Bau kloroform merusak cita rasa anggur ini."

Lemari besi di ruangan itu terbuka, dan Holmes berdiri di depannya sambil mengambil berkas demi berkas. Dengan cepat diamatinya tiap berkas, lalu dikemasnya dengan rapi di koper milik Von Bork. Orang Jerman itu menggeletak di sofa, tertidur pulas, tangan dan kakinya terikat. 

"Kita tak perlu buru-buru, Watson. Kita aman di sini. Tolong bunyikan bel. Tak ada orang di sini kecuali si tua Martha, yang telah memainkan perannya dengan sangat mengagumkan. Aku yang menyuruhnya bekerja di sini ketika aku mulai menangani masalah ini. Ah, Martha, kau pasti gembira mendengar semuanya berjalan dengan lancar." 

Wanita tua yang ramah itu muncul di pintu. Dia memberi hormat sambil tersenyum ke arah Holmes, tapi begitu menatap tubuh yang tergeletak di sofa, dia tampak agak cemas. 

"Tak apa-apa, Martha. Dia tak terluka sama sekali." 

"Saya senang mendengarnya, Mr. Holmes, dia majikan yang baik. Dia meminta saya berangkat bersama istrinya ke Jerman kemarin, tapi saya tolak. Kalau saya berangkat, rencana Anda bisa kacau, ya, kan, Sir?" 

"Tepat sekali, Martha. Selama Anda ada di sini, saya jadi tenang. Cukup lama kami menunggu sinyal Anda tadi." 

"Anda tahu, Sir, sekretaris kedutaan itu." 

"Saya tahu. Mobilnya berpapasan dengan mobil kami." 

"Saya sudah khawatir jangan-jangan dia tak akan meninggalkan tempat ini. Saya tahu Anda tak dapat beraksi selama dia masih di sini." 

"Benar. Well, kami cuma terhambat selama kira-kira setengah jam. Setelah itu kami lihat lampu Anda dimatikan yang artinya semuanya beres. Silakan besok melapor kepada saya di Hotel Claridge, London, Martha." 

"Baik, Sir." 

"Saya rasa, Anda sudah siap meninggalkan tempat ini?" 

"Ya, Sir. Dia mengeposkan tujuh surat hari ini. Saya sudah catat semua alamatnya sebagaimana biasanya." 

"Bagus sekali, Martha. Saya akan memeriksa alamat-alamat itu besok. Selamat malam. Berkas-berkas ini," lanjutnya begitu wanita itu menghilang, "tentu saja tak begitu penting, karena informasinya telah dikirimkan ke Pemerintah Jerman beberapa waktu yang lalu. Ini aslinya yang tak bisa dibawa ke luar negeri." 

"Kalau begitu berkas-berkas ini tak ada gunanya?" 

"Bukan begitu, Watson. Dengan berkas-berkas ini pemerintah kita dapat menyimpulkan, apa-apa saja yang telah mereka ketahui dan apa-apa yang belum mereka dapatkan. Boleh dibilang sebagian besar berkas ini berasal dariku, dan tentu saja isinya tak bisa dipercaya. Biarlah masa-masa akhir hidupku ini menjadi sedikit ramai dengan munculnya kapal perang Jerman yang berlayar sepanjang Selat Solent hanya karena menuruti petunjuk palsu yang sengaja kubuat-buat. Tapi kau sendiri, Watson," dia berhenti sejenak, lalu merangkul sahabatnya, "aku belum sempat memperhatikanmu. Bagaimana rupamu setelah sekian tahun berlalu? Wah, kau masih gagah dan bersemangat!" 

"Aku merasa lebih muda dua puluh tahun, Holmes. Tak pernah aku sebahagia ketika aku menerima telegrammu, yang memintaku menemuimu di Pelabuhan Harwich. Kau pun tak banyak berubah, Holmes—kecuali tambahan janggut kambingmu yang jelek sekali itu." 

"Inilah pengorbanan yang harus kita lakukan demi negara kita, Watson," kata Holmes sambil mencopot janggutnya. "Besok pagi, semua ini tinggal kenangan. Aku akan potong rambut dan mengakhiri penyamaranku sebagai orang Amerika, dan aku akan muncul di Hotel Claridge sebagai Holmes yang dulu. Maaf, Watson, bahasa Inggrisku rasanya menjadi rusak—bahkan sebelum terlintas padaku untuk menyamar sebagai orang Amerika." 

"Tapi bukankah kau sudah pensiun, Holmes? Kudengar kau sekarang hidup seperti pertapa di antara tawon-tawon dan tumpukan bukumu di petemakan kecil di daerah South Downs." 

"Benar, Watson. Dan inilah hasilnya—sebuah magnum opus, mahakarya, di usia senjaku!" Dia mengambil buku yang tergeletak di meja dan membacakan judul lengkapnya, Practical Handbook of Bee Culture, with some Observations upon the Segregation of the Queen. 

"Aku mengerjakan buku ini sendirian. Dan lihatlah hasil jerih payahku bermalam-malam merenungkan dan berhari-hari mengamati gerombolan binatang kecil itu seperti dulu ketika aku mengamati dunia kriminal London." 

"Tapi bagaimana sampai kau kembali terjun ke dunia kriminal ini?" 

"Ah, aku sendiri masih sering heran. Menteri Luar Negeri masih bisa kutolak, tapi ketika Perdana Menteri berkenan mengunjungi gubuk reyotku, aku tak dapat mengelak lagi. Terus terang, Watson, pria di sofa ini terlalu lihai untuk bangsa kita. Dia punya kelas tersendiri. Banyak rahasia kita yang bocor dan tak ada yang tahu bagaimana itu bisa terjadi. Agen-agen dicurigai atau bahkan ditangkap, tapi ada bukti-bukti yang mengarah pada suatu kekuatan pusat yang kuat dan penuh rahasia di balik semua ini. Jaringan itu harus dibongkar, aku didesak menyelidikinya. Aku melakukannya selama dua tahun, Watson, dan cukup menegangkan. Kalau kukatakan aku memulai petualanganku dari Chicago, lalu lulus dari perkumpulan rahasia Irlandia di Buffalo, membuat masalah dengan kepolisian di Skibbereen, dan akhirnya mendapat kesempatan menjadi agen rahasia Von Bork, kau pasti menyadari betapa rumitnya masalah yang kutangani. Aku menjadi agen kepercayaannya, tapi aku malah mengobrak-abrik rencananya dan menyebabkan lima agennya yang terbaik masuk penjara. Aku mengamati mereka, Watson, dan aku menangkap mereka begitu saatnya tepat. Well, Sir, saya harap Anda tak apa-apa!" 

Kalimat terakhir itu ditujukannya kepada Von Bork, yang setelah megap-megap dan mengejap-ngejap, tergeletak diam sambil mendengarkan kata-kata Holmes. Kini dia meronta-ronta lalu memaki-maki dalam bahasa Jerman, wajahnya merah padam. Holmes melanjutkan memeriksa berkas-berkas dengan cekatan sementara tawanannya terus saja memaki dan mengutuki dirinya. 

"Walaupun nadanya tak enak didengar, bahasa Jerman adalah bahasa yang dapat mengungkapkan sesuatu dengan sangat jelas," katanya setelah Von Bork berhenti karena lelah. "Wah! Wah!" tambahnya ketika dia menatap tajam pada ujung sebuah peta sebelum mengembalikannya ke kotaknya. "Ini akan mengakibatkan seorang pengkhianat lain dipenjarakan. Aku tak menyangka si kasir ternyata bajingan tengik, walaupun aku sudah lama mengamatinya. Mister Von Bork, banyak hal yang harus Anda pertanggungjawabkan."

Dengan susah payah tawanan kami berusaha duduk, dan dia menatap orang yang menangkapnya dengan pandangan heran sekaligus benci. 

"Aku akan membuat perhitungan denganmu, Altamont," katanya dengan nada mengancam, "walaupun untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawaku. Aku akan membuat perhitungan denganmu!" 

"Lagu kuno yang indah," kata Holmes. "Aku sudah terlalu sering mendengarnya. Lagu kesukaan Profesor Moriarty yang malang. Kolonel Sebastian Moran juga pernah mendendangkannya Dan nyatanya aku tetap hidup sampai saat ini dan menjadi peternak tawon di South Downs." 

"Terkutuk kau, pengkhianat ganda!" teriak orang Jerman itu sambil menggeliat-geliat, berusaha melepaskan diri dari ikatan yang melilitnya. Pandangannya penuh amarah seolah ingin membunuh musuhnya. 

"Tidak, tidak, tak akan seburuk itu," kata Holmes sambil tersenyum. "Sebagaimana Anda dengar tadi, sesungguhnya tak ada orang bernama Mr. Altamont dari Chicago. Saya hanya memanfaatkannya, dan kini dia telah tiada." 

"Kalau begitu, siapa kau?" 

"Sesungguhnya tak begitu penting mengetahui siapa sebenarnya saya. Tapi karena tampaknya Anda begitu penasaran, Mr. Von Bork, baiklah saya katakan ini bukan pertama kalinya saya berkenalan dengan anggota keluarga Anda. Pada masa yang lalu, saya sudah berkali-kali bertugas di Jerman, dan Anda mungkin pernah mendengar nama saya." 

"Langsung saja sebutkan!" kata orang berdarah Prusia itu dengan ketus. 

"Sayalah yang memisahkan Irene Adler dari almarhum Raja Bohemia ketika sepupu Anda Hein-rich menjabat sebagai Imperial Envoy. Sayalah yang menyelamatkan Count Von Zu Grafenstein dari ancaman pembunuhan kaum Nihilis Klopman. Dia kakak ibu Anda, kan? Sayalah..." 

Von Bork terpana di tempat duduknya. 

"Hanya ada satu orang'" teriaknya. 

"Tepat," kata Holmes. 

Von Bork menggeram dan menjatuhkan dirinya kembali ke sofa. "Padahal sebagian besar informasi itu kudapatkan darimu!" teriaknya. "Apa yang telah kulakukan? Pasti semua itu bohong! Tamatlah riwayatku!" 

"Memang informasi-informasi itu kurang dapat diandalkan," kata Holmes. "Harus dicek ulang dan Anda tak punya banyak waktu untuk itu. Laksamana Anda mungkin akan mengatakan bedil-bedil yang baru itu ternyata sedikit lebih besar dari yang diharapkannya, dan kapal-kapal itu mungkin sedikit terlalu cepat jalannya." 

Von Bork meringkuk dalam keputusasaan. 

"Ada banyak perincian lain yang akan terungkap tak lama lagi. Tapi Anda memiliki satu sifat yang biasanya tak dimiliki orang Jerman, Mr. Von Bork, suka berolahraga, sportif. Jadi Anda pasti tak akan sakit hati pada saya kalau berhasil saya kalahkan. Anda telah memperdaya begitu banyak orang dan kini tiba giliran Anda diperdaya. Bagaimanapun, Anda sudah menjalankan tugas bagi negara Anda dengan sangat baik, dan saya pun telah menjalankan tugas bagi negara saya dengan sangat baik, dan hal itu wajar sekali, bukan? Lagi pula," tambahnya dengan ramah sambil menyentuh pundak orang yang tak berdaya itu, "lebih baik begini daripada dikalahkan musuh yang kurang berkualitas. Berkas-berkas ini sudah siap, Watson, Tolong urus tawanan kita, dan sebaiknya kita segera menuju London." 

Ternyata tak mudah menggiring Von Bork, karena dia kuat sekali dan meronta-ronta. Akhirnya, berdua dengan Holmes, masing-masing menarik satu lengannya, barulah mereka bisa menyeretnya dengan susah payah melewati jalanan taman yang beberapa jam sebelum ini dilalui orang Jerman itu dengan sangat gagah dan bangga, ketika menerima ucapan selamat dari si sekretaris kedutaan. Dia berhasil dimasukkan ke mobil kecil itu, masih dalam keadaan terikat tangan dan kakinya. Koper kecilnya yang sangat berharga kami letakkan di sampingnya. 

"Buatlah diri Anda senyaman mungkin," kata Holmes, setelah membereskan macam-macam. "Bolehkah saya menyalakan rokok dan menyisipkannya ke bibir Anda?" 

Orang Jerman yang sedang marah itu menolak semua kebaikan Holmes. 

"Kurasa kau menyadari, Mr. Sherlock Holmes," katanya, "kalau tindakanmu ini didukung Pemerintah Inggris, berarti perang akan meletus." 

"Bagaimana dengan pemerintah Anda dan semua tindakan Anda?" kata Holmes sambil mengetuk koper kecil itu. 

"Kau bukan petugas hukum. Kau tak punya surat izin menangkapku. Semuanya melanggar hukum dan kurang ajar." 

"Memang," kata Holmes. 

"Menculik pejabat Jerman." 

"Dan mencuri berkas-berkas pribadinya." 

"Bagus, kau menyadari posisimu, kau dan temanmu ini. Lihat saja kalau aku nanti berteriak minta tolong ketika kita lewat desa..." 

"Sir, jika Anda melakukan tindakan bodoh seperti itu, nasib Anda akan semakin buruk. Orang Inggris itu penyabar, tapi pada saat seperti ini, emosinya gampang terbakar dan jangan coba-coba mengusiknya. Begini, Mr. Von Bork, Anda akan diantarkan ke Scotland Yard secara diam-diam, tanpa memalukan Anda. Dari sana Anda bisa menghubungi teman Anda Baron Von Herling dan menanyakan padanya apakah Anda masih boleh menempati tempat yang sudah disediakannya di kamar utama kedutaan. Sedangkan kau, Watson, setahuku kau masih praktek, ya? Tentunya kau juga ingin kembali ke London melanjutkan pekerjaanmu. Mari kita ke teras dan berbincang-bincang sejenak, karena ini mungkin kesempatan terakhir kita." 

Kedua sahabat itu mengobrol dengan asyik selama beberapa menit, mengenang hari-hari yang mereka lalui bersama di masa lalu, sementara tawanan mereka masih terus berusaha membebaskan diri dari ikatan yang melilitnya. Ketika mereka berjalan ke mobil, Holmes menunjuk ke belakang, ke lautan yang disinari rembulan, dan menggeleng dengan serius. 

"Angin timur akan tiba, Watson." 

"Kurasa bukan angin timur. Holmes. Semilirnya terasa hangat." 

"Sobatku, Watson! Kau masih seperti dulu walaupun zaman sudah berubah. Jelas akan tiba angin timur, angin yang belum pernah melanda Inggris. Angin itu dingin dan menyakitkan, Watson, dan banyak di antara kita yang akan jatuh sebelum dilanda tiupannya. Semoga angin dari Tuhan sendiri membuat negara ini menjadi lebih bersih, lebih baik, dan lebih kuat kalau angin topan itu telah berlalu. Hidupkan mobilnya, Watson, sudah waktu nya kita berangkat. Aku punya cek bernilai lima ratus pound yang akan secepatnya kuuangkan, karena yang mengeluarkan cek ini pasti ingin memblokirnya kalau dia bisa"

Kaki Setan

 KAKI SETAN



Dari waktu ke waktu, ketika aku menuliskan eksperimen-eksperimen dan kenangan-kenangan selama bertahun-tahun aku bersahabat erat dengan Sherlock Holmes, aku sering mengalami kesulitan yang disebabkan oleh keengganannya akan publisitas. Bagi Holmes yang pemuram dan sinis, sambutan publik sangat menjijikkan. Yang disukainya setiap kali berhasil menangani sebuah kasus ialah mengalihkan perhatian publik ke pihak berwajib, sehingga dia bisa tersenyum penuh canda ketika publik ribut memberikan ucagan selamat kepada pihak yang tak seharusnya menerima ucapan itu. Karena sikap sahabatku yang unik inilah, akhir-akhir ini aku tak banyak menuliskan kisah-kisah petualangannya. Jadi sama sekali bukan karena aku kehabisan bahan cerita. Partisipasiku dalam beberapa petualangannya selalu merupakan kehormatan bagiku dan membuatku lebih bijaksana, waspada, serta tak banyak bicara bila tak diperlukan. 

Itulah sebabnya aku terkejut ketika menerima telegram Holmes hari Selasa yang lalu. 
Mengapa tak kau tuliskan kisah horor yang terjadi di Cornwall—kasus paling aneh yang pernah kutangani?
Aku tak tahu latar belakang apa yang menyebabkannya mengingat kasus ini, atau keajaiban apa yang telah membuatnya berminat mempublikasikannya, tapi karena khawatir dia berubah pikiran, aku bergegas mencari catatan-catatanku dan langsung menuliskannya.

Pada musim semi tahun 1897, kesehatan Holmes agak terganggu. Dia letih dan tegang karena terlalu banyak menangani kasus yang berat-berat, lebih-lebih gaya hidupnya kurang teratur. Pada bulan Maret tahun itu juga, Dr. Moore Agar yang tinggal di Harley Street, yang perkenalannya dengan Holmes terjadi secara amat dramatis (hal ini mungkin akan kuceritakan pada kesempatan lain) memerintahkan agar Holmes menolak menangani kasus-kasus dan beristirahat total kalau tak ingin ambruk. Holmes memang tak sedikit pun memedulikan kesehatannya, karena begitu besarnya komitmennya kepada pekerjaannya. Tapi karena itulah satu-satunya jalan supaya dia jangan sampai ambruk dan tak mampu bekerja lagi, akhirnya dia mau beristirahat. Maka musim semi tahun itu kami habiskan berdua di pondok kecil dekat Poldhu Bay, yang terletak di salah satu ujung Semenanjung Cornwall. 

Tempat itu agak aneh dan menyeramkan, cocok dengan suasana hati sahabatku. Dari jendela-jendela pondok kami yang serba putih, yang terletak di puncak bukit yang dipenuhi rumput, tampak Mounts Bay yang membentang membentuk setengah lingkaran. Gunung-gunung kecil ini bisa menjadi perangkap yang mematikan bagi kapal-kapal yang lewat karena pinggirannya diliputi karang-karang hitam terjal yang sering tertutup ombak. Sudah banyak pelaut yang tewas di situ. Kalau angin bertiup lemah dari utara, tempat itu kelihatan tenang dan mengundang. Lalu terjadilah gemuruh angin yang tiba-tiba dari arah barat daya sehingga jangkar kapal terlepas dan para pelaut berjuang menyelamatkan nyawa mereka. Pelaut yang bijaksana tak akan berani dekat-dekat ke tempat neraka itu. 

Bagian daratnya juga tak kalah suramnya—padang-padang tandus yang sepi diselingi menara gereja di desa-desa kuno. Kalau kami mengarahkan pandangan ke padang-padang tandus itu, terlihat bekas-bekas kehidupan manusia berupa gundukan-gundukan tanah kuburan dan barang-barang pecah belah. Suasana misterius tempat itu, yang menandakan adanya kehidupan yang terlupakan dunia luar, merangsang ituajinasi sahabatku. Dia banyak menghabiskan waktunya dengan berjalan-jalan dan bermeditasi di luar. Bahasa Cornwall kuno juga menarik perhatiannya, dan seingatku, dia mengemukakan pendapatnya bahwa bahasa itu bersaudara dengan bahasa Chaldea, dan sebagian besar bahasa itu berasal dari para pedagang Funisia. Dia telah mendapat kiriman buku-buku tentang filologi dan hendak mulai mengerjakan tesisnya, ketika tiba-tiba kami terperangkap dalam sebuah masalah. Masalah ini lebih serius, mengasyikkan, dan misterius dibandingkan dengan kasus-kasus kami di London. Kehidupan kami yang sederhana, tenteram dan sehat langsung terganggu dan kami menghadapi serangkaian peristiwa yang sempat menggemparkan bukan saja di Cornwall, tapi di seluruh Inggris Barat. Banyak di antara pembaca yang mungkin masih ingat tentang apa yang waktu itu disebut "Cerita Horor dari Cornwall", walaupun yang ditulis pers London sangat tak sempurna. Sekarang, setelah lewat tiga belas tahun, aku akan menyuguhkan kepada publik perincian yang sebenarnya dari masalah itu. 

Tadi sudah kukatakan ada beberapa menara gereja di sekitar daerah Cornwall. Yang paling dekat dengan tempat kami adalah desa Tredannick Wollas yang berpenduduk sekitar dua ratus orang. Mereka tinggal di rumah-rumah kecil mengelilingi sebuah gereja tua yang sudah dipenuhi ngengat. Pendetanya, Mr. Roundhay, juga arkeolog, sehingga Holmes berkenalan dengannya. Pendeta itu berusia setengah baya, gemuk dan ramah, serta tahu banyak tentang riwayat desa itu. Kami diundang minum teh di rumahnya, dan kami jadi punya kenalan baru, seorang pria bernama Mortimer Tregennis, wiraswasta, yang menambah penghasilan si pendeta dengan menyewa beberapa kamar di rumahnya. Pendeta yang masih bujangan itu sangat senang dengan hadirnya sang penyewa, walaupun kepribadian mereka agak berbeda. Mr. Tregennis bertubuh kurus, berkulit gelap, berkacamata, agak bungkuk sehingga mengesankan tubuhnya agak cacat. Aku masih ingat, sepanjang kunjungan kami yang singkat itu, si pendeta banyak ngomong ini-itu, sedangkan Mr. Tregennis nyaris tak berkata sepatah pun. Ia kelihatan murung dan sangat berhati-hati, sering menghindar dari pandangan kami, jelas dia sedang memikirkan masalahnya sendiri. 

Kedua pria inilah yang secara tiba-tiba muncul di ruang tamu kami yang kecil pada hari Selasa, 16 Maret, tak lama setelah kami selesai sarapan. Waktu itu kami sedang merokok sebelum berjalan-jalan ke padang sebagaimana kami lakukan setiap hari. 

"Mr. Holmes," kata si pendeta dengan terbata-bata, "semalam telah terjadi sesuatu yang sangat aneh dan tragis. Masalah ini tak boleh tersiar ke mana-mana. Kami menganggap atas karunia Tuhan sajalah Anda kebetulan berada di sini saat ini, karena Andalah satu-satunya orang yang bisa menolong kami di seluruh negeri ini." 

Aku menatap si pendeta dengan pandangan tak senang, tapi Holmes menyingkirkan pipa rokok dari bibirnya dan duduk di kursi bagaikan anjing pelacak tua yang mencium mangsa. Dia melambaikan tangannya ke arah sofa, dan tamu kami yang gemetaran serta temannya yang gelisah duduk bersebelahan di sofa itu. Mr. Mortimer Tregennis lebih dapat menahan diri daripada si pendeta, tapi tangannya yang senantiasa bergerak-gerak dan matanya yang berkilauan menunjukkan dia pun sama resahnya. 

"Saya atau Anda yang mau bicara?" tanyanya kepada si pendeta. 

"Well, karena Andalah yang pertama menemukan sesuatu, sebaiknya Andalah yang berbicara," kata Holmes. 

Aku menoleh ke arah si pendeta yang berpakaian seadanya dan pria yang berpakaian formal di sampingnya. Aku senang melihat wajah mereka yang terkejut mendengar kesimpulan yang dibuat Holmes. 

"Mungkin saya perlu menyampaikan beberapa hal terlebih dahulu," kata si pendeta, "setelah itu silakan, apakah Anda mau mendengar perinciannya dari Mr. Tregennis, ataukah kita langsung saja menuju tempat kejadian. Saya mulai saja dengan menceritakan bahwa Mr. Tregennis ini tadi malam mengunjungi kedua kakak laki-lakinya, Owen dan George, serta kakak perempuannya, Brenda, yang tinggal serumah di Tredannick Wartha, dekat persimpangan jalan. Dia meninggalkan rumah mereka pada jam sepuluh lewat sedikit, sedangkan mereka masih melanjutkan bermain kartu di ruang duduk dalam keadaan sehat dan gembira. Pagi tadi, sebagaimana biasanya Mr. Tregennis bangun pagi-pagi. Dia berjalan ke arah rumah mereka sebelum sarapan, dan berpapasan dengan kereta Dr. Richards. Dokter itu menjelaskan bahwa dia baru saja diminta datang ke Tredannick Wartha. Mr. Mortimer Tregennis tentu saja langsung ikut ke sana. Ternyata, kedua kakak laki-laki dan kakak perempuannya masih duduk mengelilingi meja makan tepat seperti ketika dia meninggalkan mereka semalam, kartu masih bertebaran di hadapan mereka, sedangkan lilin sudah habis terbakar. Kakak perempuannya tergeletak ke belakang kursinya; dia sudah mati kaku. Kedua kakak laki-lakinya yang duduk masing-masing di samping wanita itu sedang tertawa terbahak-bahak, berteriak-teriak, menyanyi. Pada wajah ketiganya—wanita yang mati dan kedua pria gila ini—masih terpancar ekspresi ketakutan yang amat sangat. Tak ada tanda-tanda kehadiran orang lain di rumah itu, kecuali Mrs. Porter, tukang masak merangkap pengurus rumah tangga, yang menyatakan tertidur pulas semalaman dan sama sekali tak mendengar suara yang mencurigakan. Tak ada barang yang dicuri ataupun diobrak-abrik, dan tak ada apa pun yang bisa menjelaskan horor apa yang telah begitu rupa mengagetkan seorang wanita sampai dia mati, dan membuat gila dua pria yang masih kuat. Begitulah keadaannya secara singkat, Mr. Holmes, dan bila Anda bisa menolong menjernihkan masalah ini, kami akan sangat berterima kasih." 

Betapa inginnya aku mencegah sahabatku menangani kasus ini, karena maksud kepergian kami ke sini memang untuk beristirahat. Tapi ketika kulihat wajahnya yang penuh perhatian dan alisnya yang mengerut, tahulah aku bahwa usahaku akan sia-sia belaka. Dia duduk selama beberapa saat dalam kebisuan, tenggelam dalam kisah aneh yang telah mengoyak-ngoyak kedamaian kami. 

"Saya akan menangani kasus ini," katanya pada akhirnya. "Pada permukaannya, kasus ini tampak sangat aneh. Apakah Anda sudah pergi ke tempat itu, Mr. Roundhay?" 

"Belum, Mr. Holmes. Mr. Tregennis mengabarkan musibah ini kepada saya, dan saya langsung kemari bersamanya." 

"Seberapa jauhkah rumah itu dari sini?" 

"Kira-kira satu mil perjalanan darat." 

"Kalau begitu, kita akan berjalan kaki bersama. Tapi sebelumnya, saya perlu menanyakan beberapa hal kepada Anda, Mr. Mortimer Tregennis." 

Pria itu diam saja selama ini, dia duduk dengan wajah pucat dan sedih, tatapannya tertuju kepada Holmes dan tangannya yang kurus diremas-remasnya. Bibirnya yang pucat gemetaran sementara dia mendengarkan si pendeta menceritakan musibah yang telah menimpa keluarganya, dan matanya yang gelap memancarkan kengerian yang terjadi di tempat kejadian. 

"Silakan tanya apa saja, Mr. Holmes," katanya dengan segera. "Memang ini bukan topik pembicaraan yang menyenangkan, tapi saya akan menjawab dengan sebenar-benarnya." 

"Ceritakan apa yang Anda ketahui tentang tadi malam." 

"Well, Mr. Holmes, saya makan malam di sana, lalu kakak saya George mengusulkan bermain kartu. Kami pun duduk bersama pada kira-kira jam sembilan. Jam sepuluh seperempat, saya berpamitan. Saya tinggalkan mereka di meja itu, dalam keadaan gembira." 

"Siapa yang membukakan pintu waktu Anda mau pulang?" 

"Mrs. Porter sudah tidur, jadi saya sendirilah yang membuka pintu. Saya tak lupa menutup pintu itu kembali. Jendela ruangan tempat mereka berada tertutup, tapi kerainya masih terbuka. Tadi pagi, keadaan pintu dan jendela tak berubah, serta tak ada alasan menyimpulkan seseorang telah masuk ke rumah itu. Tapi begitulah keadaan mereka, masih duduk di situ, menjadi gila karena telah tertimpa teror yang dahsyat, dan Brenda bahkan tergeletak mati, dengan kepala menggelantung di lengan kursi. Saya tak akan pernah melupakan pemandangan itu seumur hidup saya." 

"Semua fakta yang Anda beberkan benar-benar luar biasa," kata Holmes. "Jadi, sampai sekarang Anda belum punya pandangan tentang apa yang mungkin telah terjadi pada mereka?" 

"Pasti setan, Mr. Holmes, setan!" teriak Mortimer Tregennis. "Pasti bukan berasal dari dunia ini. Pikiran mereka sampai tak waras. Kalau perbuatan manusia masa bisa sampai begitu akibatnya!" 

"Wah," kata Holmes, "kalau memang masalah ini di luar kemampuan manusia, saya pun tak akan mampu menanganinya. Tapi kita harus tetap berusaha semampu kita untuk mencari penjelasan masalah ini sebelum kita menerima pandangan seperti itu. Dan Anda sendiri, Mr. Tregennis, mengapa Anda tidak tinggal bersama mereka?" 

"Begini, Mr. Holmes, pernah ada masalah di antara kami di masa yang lalu, tapi sudah beres. Keluarga kami memiliki tambang timah di Redruth, lalu orangtua kami menjual usaha itu dan memperoleh uang yang cukup banyak. Saya tak menyangkal telah terjadi perselisihan ketika kami membagi-bagi uang itu, dan ini berlangsung beberapa waktu. Tapi semuanya lalu saling memaafkan dan tak pernah mengungkit-ungkit soal itu lagi." 

"Kembali pada kejadian semalam, ketika Anda bersama mereka, adakah sesuatu yang Anda ingat yang mungkin dapat menjelaskan tragedi ini? Pikirkanlah dengan saksama, Mr. Tregennis, kalau-kalau ada petunjuk yang bisa menolong saya." 

"Tidak ada sama sekali, Sir." 

"Saudara-saudara Anda waktu itu sedang bergembira?" 

"Ya." 

"Apakah mereka gampang gugup? Apakah mereka menunjukkan tanda-tanda akan datangnya bahaya?" 

"Tidak sama sekali." 

"Jadi tak ada yang bisa Anda tambahkan, yang bisa menolong saya?" 

Mortimer Tregennis berpikir dengan sungguh-sungguh selama beberapa saat. 

"Ada satu hal yang tiba-tiba saya ingat," katanya pada akhirnya. "Ketika kami duduk mengelilingi meja di ruang duduk keluarga saya membelakangi jendela, dan kakak saya George, yang menjadi partner main kartu saya, menghadap ke jendela. Suatu saat, saya melihatnya sedang menatap ke belakang saya, sehingga saya pun berbalik dan ikut melihat ke belakang. Jendelanya tertutup, tapi karena kerainya terbuka, saya masih bisa melihat semak-semak di halaman luar, dan sesaat tampaknya ada sesuatu yang bergerak di situ. Saya tak tahu apakah itu manusia atau binatang, pokoknya rasanya ada sesuatu. Ketika saya mengemukakan hal ini kepada kakak saya, dia pun mengatakan merasakan apa yang saya rasakan. Hanya begitulah yang bisa saya jelaskan." 

"Apakah Anda tidak mengecek ke luar?" 

"Tidak, kami tak memedulikan hal itu lagi." 

"Jadi, ketika Anda meninggalkan ketiga saudara Anda, tak terbersit sedikit pikiran pun tentang setan?" 

"Tidak sama sekali." 

"Saya belum jelas tentang bagaimana Anda bisa menerima berita ini pagi-pagi sekali tadi." 

"Saya memang biasa bangun pagi, lalu berjalan-jalan sebentar sebelum sarapan. Pagi tadi, saya baru saja keluar rumah ketika berpapasan dengan dokter ini. Dia mengatakan Mrs. Porter telah menyuruh seseorang menyampaikan pesan penting itu kepadanya. Saya langsung melompat ke keretanya dan kami berdua lalu berangkat ke rumah saudara saya. Ketika sampai di sana, pemandangan yang mengerikan itu kami saksikan di ruang duduk. Lilin dan perapian pasti telah padam berjam-jam sebelumnya, dan itu berarti kedua kakak laki-laki saya berada di ruangan itu dalam kegelapan hingga pagi tiba. Dokter mengatakan Brenda telah meninggal paling tidak enam jam yang lalu. Tak ada tanda-tanda kekerasan. Dia cuma tergeletak ke lengan kursi dengan ekspresi wajah yang begitu mengenaskan. George dan Owen sedang bernyanyi-nyanyi dan menceracau tak keruan seperti dua gorila. Oh, alangkah ngerinya apa yang kami lihat itu! Saya tak tahan lagi, bahkan wajah dokter pun menjadi pucat pasi, dan dia nyaris pingsan." 

"Luar biasa—sangat luar biasa!" kata Holmes sambil berdiri dan mengambil topinya. "Saya rasa, sebaiknya kita pergi ke Tredannick Wartha sekarang juga. Harus saya akui saya jarang sekali menemui kasus yang sejak dari awalnya sudah menyajikan masalah yang begitu unik." 

Apa yang kami lakukan pada pagi itu tak banyak membawa kemajuan bagi penyelidikan kami. Tapi aku sangat dikejutkan dengan suatu peristiwa yang terjadi dalam perjalanan ke tempat kejadian itu. Kami harus melewati jalan pedesaan yang sempit dan berbelok-belok. Ketika itulah kami mendengar dencing kereta yang datang dari arah berlawanan. Kami menepi untuk memberi jalan pada kereta itu. Ketika kendaraan itu melintas, aku sempat melihat seraut wajah mengerikan yang membelalak ke arah kami dari jendela kereta yang tertutup. Wajah dengan mata melotot dan gigi menyeringai yang melaju menjauhi kami itu meninggalkan kesan yang sangat menakutkan. 

"Kedua kakak saya!" teriak Mortimer Tregennis dengan bibir memucat. "Mereka dibawa ke Helston." 

Dengan ngeri kami mengawasi kereta hitam itu melaju meninggalkan kami. Kami lalu melanjutkan perjalanan menuju rumah yang tertimpa malapetaka itu. 

Rumah itu besar dan terang, lebih mirip vila daripada rumah pedesaan. Ada taman luas yang dipenuhi bunga-bunga musim semi. Jendela ruang duduk tempat mereka berada semalam menghadap ke taman ini. Dan dari taman inilah, menurut Mortimer Tregennis, telah muncul setan yang begitu mengejutkan mereka, sehingga mereka jadi gila. Holmes berjalan perlahan-lahan di antara pot-pot bunga dan sepanjang jalanan di taman itu. 

Lalu kami masuk ke beranda. Seingatku, begitu seriusnya dia berpikir, sampai dia menabrak ember penyiram tanaman sehingga isinya tumpah dan membasahi kaki kami dan jalanan di taman. Ketika sampai di dalam rumah, kami ditemui pelayan tua rumah itu, Mrs. Porter, yang asli Cornwall. Dia melayani kebutuhan keluarga ini dibantu seorang pelayan wanita yang masih muda. Dengan sigap dia menjawab semua pertanyaan Holmes. Dia tak mendengar apa-apa malam itu. Ketiga majikannya sangat gembira dan berkecukupan akhir-akhir ini. Dia jatuh pingsan begitu masuk ke ruang duduk pagi tadi, karena melihat ketiga orang itu di sekeliling meja. Ketika sudah siuman, dia membuka jendela agar udara segar masuk ke ruangan itu. Dia lalu berlari ke halaman, dan menyuruh seorang buruh tani memanggil dokter. Nyonyanya sekarang sudah dipindahkan ke kamar tidurnya di lantai atas, dan dia mempersilakan kami melihatnya. Dibutuhkan empat pria yang kuat untuk membawa kedua tuannya masuk ke kereta milik rumah sakit jiwa itu. Dia sendiri tak mau tinggal di rumah ini lebih lama lagi, dan siang itu juga dia mau pulang ke rumah keluarganya di St. Ives. 

Kami menaiki tangga dan melihat tubuh yang sudah jadi mayat itu. Miss Brenda Tregennis dulunya pastilah gadis yang sangat cantik. Walaupun usianya sudah mendekati setengah baya, raut wajahnya yang gelap masih memancarkan kecantikan masa mudanya. Sayangnya wajah itu dinodai ekspresi ketakutan yang luar biasa. Dari kamar itu, kami turun ke ruang duduk tempat terjadinya tragedi yang aneh itu. Abu perapian yang hangus belum dibersihkan. Ada empat lilin yang sudah terbakar habis dan kartu-kartu yang berserakan di meja. Kursi-kursinya telah didorong ke belakang, tapi yang lain-lainnya tak ada yang berubah dalam ruangan itu. Holmes menduduki kursi-kursi itu satu per satu, lalu digambarnya posisi-posisinya. Dia mengukur berapa jauh jarak pandang dari situ ke taman, dia memeriksa lantai, atap, dan perapian, tapi aku tak melihat matanya bersinar-sinar dan bibirnya terkatup rapat yang biasanya menunjukkan adanya suatu petunjuk 

"Kenapa mereka menyalakan perapian?" tanyanya suatu saat. "Apakah mereka memang biasa menyalakan perapian di ruang duduk yang kecil ini pada musim semi?" 

Mortimer Tregennis menjelaskan bahwa semalam udara cukup dingin dan lembap itulah sebabnya tak lama setelah kedatangannya, perapian dinyalakan. "Apa yang hendak Anda lakukan sekarang, Mr. Holmes?" tanyanya. 

Sahabatku tersenyum dan menyentuh lenganku. "Kurasa, Watson, aku mau merokok lagi, meneruskan yang tadi pagi," katanya. "Jika Anda sekalian tak keberatan, kami permisi dulu sekarang, karena menurut saya tak akan ada hal baru yang akan saya temukan di sini. Saya akan memikirkan semua fakta yang ada, Mr. Tregennis, dan kalau ada hasilnya, saya pasti akan mengabarkannya kepada Anda dan Pendeta. Selamat pagi." 

Holmes terus membisu setelah itu. Beberapa saat setelah kami kembali ke Poldhu Cottage, barulah dia mulai berbicara. Dia duduk meringkuk di kursi malasnya, wajahnya yang cekung dan serius hampir-hampir tak kelihatan karena tertutup asap biru rokok yang diisapnya. Alisnya yang berwarna hitam tertarik ke bawah, dahinya tegang, tatapan matanya kosong dan jauh. Akhirnya, dia meletakkan pipanya dan berdiri. 

"Tak bisa, Watson!" katanya sambil tertawa. "Mari kita jalan-jalan sepanjang tebing untuk mencari anak panah yang ujungnya mengandung bara api. Itu lebih mudah ditemukan daripada petunjuk bagi masalah ini. Menyuruh otak bekerja tanpa bahan yang memadai bagaikan berlomba dengan mesin. Otakku bisa hancur berkeping-keping. Sebaiknya kita bersabar saja, Watson, sambil menikmati udara laut dan sinar matahari—semuanya nanti akan datang dengan sendirinya. 

"Nah, mari dengan tenang kita memahami posisi kita, Watson," lanjutnya ketika kami menyusuri tebing. "Kita harus benar-benar memanfaatkan secuil fakta yang kita ketahui, sehingga kalau nanti ada fakta fakta baru kita akan siap menempatkannya pada posisi yang seharusnya. Pertama-tama, menurutku kita berdua setuju tak mungkin gangguan-gangguan setan bisa ikut campur dalam kasus manusia. Mari kita mulai dengan meyakini hal itu di benak kita. Bagus sekali. Jadi ada tiga orang yang telah dikejutkan secara amat luar biasa oleh seseorang, baik secara sengaja maupun tak sengaja. Itu harus dipegang teguh. Sekarang, kapan itu terjadi? Jelas, kalau penuturannya benar, langsung setelah Mr. Mortimer Tregennis pulang. Hal ini sangat penting. Kita bayangkan setelah beberapa menit, karena kartu-kartu yang dipakai bermain masih ada di meja. Saat itu biasanya mereka sudah tidur. Dan mereka tidak sempat mengubah posisi, atau bahkan menarik kursi ke belakang. Jadi, kuulangi lagi, kejadiannya pastilah langsung setelah dia meninggalkan tempat itu, dan tak lewat dari jam sebelas. 

"Langkah kita selanjutnya ialah mencari tahu, semampu kita, apa yang dilakukan Mortimer Tregennis setelah dia meninggalkan tempat itu. Ini tak sulit, dan rasanya tak ada tindakannya yang pantas dicurigai. Kau tahu cara kerjaku, dan kau tentunya sadar untuk apa aku sengaja menumpahkan ember berisi air itu. Aku ingin mendapatkan jejak kakinya. Jalanan berpasir yang basah itu benar-benar menghasilkan jejak kaki yang bagus. Tentunya kau masih ingat bahwa tadi malam tanah di situ juga basah. Setelah punya contoh jejak kakinya, tak susah melacak jejaknya di antara jejak-jejak lainnya. Dia ternyata langsung menuju rumah pendeta. 

"Kalau Mortimer Tregennis memang meninggalkan tempat itu, dan ada orang lain yang telah menakut-nakuti ketiga pemilik rumah, bagaimana caranya kita mengira-ngira orangnya, dan mengapa dia sampai menimbulkan kesan yang begitu menakutkan? Mrs. Porter tak perlu kita curigai. Dia jelas tak bersalah. Bisakah dibuktikan seseorang telah memanjat pagar depan untuk masuk ke taman di bawah jendela itu lalu begitu mengejutkan orang-orang yang melihatnya sampai mereka menjadi gila? Yang bisa mengarah ke situ adalah penjelasan Mortimer Tregennis sendiri, yang tadi mengatakan kakaknya juga tahu tentang adanya sesuatu yang bergerak di taman. Hal ini jelas aneh karena hujan turun malam itu, cuaca mendung dan gelap. Kalau ada orang yang memang merencanakan mengagetkan mereka, dia harus menempelkan wajahnya sedemikian rupa ke kaca agar dapat terlihat mereka. Ada pembatas berbentuk pohon-pohon bunga setinggi semeter di luar jendela itu, tapi tak ada jejak kaki. Jadi, susah membayangkan bagaimana seseorang dari luar bisa mengagetkan mereka sedemikian mpa. Juga, tak ada motif yang jelas untuk tindakan yang aneh dan macam-macam begitu. Kau mengerti kesulitan kita, Watson?" 

"Sangat jelas," kataku dengan yakin. 

"Kalau kita bisa mendapatkan tambahan bahan sedikit lagi saja, kita akan bisa membuktikan kasus ini tidaklah di luar jangkauan kita," kata Holmes. "Kurasa di antara arsip-arsipmu yang banyak itu, Watson, pasti ada beberapa yang misterius seperti kasus yang sedang kita tangani. Sementara ini, kita akan mengesampingkan kasus ini sampai ada informasi yang lebih akurat, dan mari kita nikmati sisa pagi ini dengan menyusuri jejak orang zaman neolitis." 

Aku mungkin pernah menyebutkan tentang kemampuan mental sahabatku, tentang kemampuannya menyingkirkan masalah-masalah yang tak dapat langsung ditanganinya dari benaknya. Tapi pada pagi musim semi di Cornwall ini, aku benar-benar heran melihat apa yang dilakukannya. Selama dua jam berkeliling, dia berpidato tentang bangsa Celt, makna ujung-ujung panah, serta serpihan-serpihan keramik dengan begitu ringannya, sama sekali tak terbersit ada misteri aneh yang sedang menunggu dipecahkannya. 

Siang ketika kami kembali ke pondok, ada seseorang yang telah menunggu. Karena dialah pikiran kami langsung dibawa kembali kepada kasus yang sempat kami lupakan sejenak. Kami tak perlu diberitahu siapa dia. Perawakannya tinggi besar, wajahnya kasar dan banyak bekas jahitan, matanya nyalang, hidungnya seperti hidung elang, rambutnya beruban dan hampir menyentuh langit-langit ruangan, janggutnya berwarna keemasan di pinggirnya dan putih dengan bercak-bercak nikotin di dekat bibirnya. Semua ciri penampilannya ini sangat terkenal baik di London maupun di Afrika, dan dia tak lain dari Dr. Leon Sterndale, penjelajah dan pemburu singa yang termasyhur. 

Kami memang telah mendengar dia berada di daerah sini, dan pernah beberapa kali melihat sosoknya yang tinggi besar di padang. Tapi dia tak pernah mendekati kami dan kami pun enggan menemuinya. Sudah tersiar kabar dia suka menyendiri, dan kalau tidak sedang berburu atau menjelajah, dia mengunci diri saja di vilanya yang kecil yang terletak di tengah-tengah hutan Beauchamp Arriance yang sunyi senyap. Di situ, dikerumuni buku-buku dan peta-peta, dia hidup sendirian, dan nyaris tak pernah peduli pada urusan sekelilingnya. Itulah sebabnya aku terkejut ketika mendengarnya melemparkan pertanyaan-pertanyaan dengan gencar kepada Holmes—yaitu apakah Holmes telah mendapatkan kemajuan dalam menangani peristiwa yang misterius itu. 

"Polisi desa ini jelas salah duga," kata Dr. Sterndale, "namun pengalaman Anda yang luas mungkin telah menghasilkan penjelasan yang lebih masuk akal. Satu-satunya alasan saya yang cukup kuat untuk menanyakan hal ini ialah karena selama tinggal di sini, saya berhubungan baik dengan keluarga Tregennis—sebenarnya mereka masih sepupu saya dari garis ibu saya yang asli Cornwall—dan nasib malang yang menimpa mereka sangat mengejutkan saya. Saya sudah sampai di Plymouth dalam perjalanan ke Afrika, ketika saya mendapat kabar tentang hal itu pagi tadi, dan saya langsung kembali kemari, kalau-kalau ada yang bisa saya bantu dalam penyelidikannya." Holmes mengangkat alisnya. 

"Jadi Anda ketinggalan kapal?" 

"Saya akan berangkat dengan kapal berikutnya." 

"Wah, wah! Kesetiakawanan yang luar biasa." 

"Sudah saya katakan mereka masih berhubungan keluarga dengan saya." 

"Oh, begitu—sepupu dari pihak ibu Anda. Apakah bagasi Anda sudah di kapal?" 

"Sebagian, tapi yang penting-penting saya bawa ke hotel." 

"Begitu, ya. Tapi rasanya mustahil berita tentang peristiwa itu sudah masuk koran pagi di Plymouth." 

"Tidak, Sir, saya menerima telegram." 

"Boleh tanya siapa yang mengirimnya?" 

Wajah penjelajah itu menjadi agak jengkel. 

"Anda terlalu ingin tahu, Mr. Holmes." 

"Begitulah pekerjaan saya." 

Dr. Sterndale memaksa dirinya tetap tenang. 

"Saya tak keberatan mengatakannya," katanya. "Pengirimnya Pendeta Roundhay." 

"Terima kasih," kata Holmes. "Saya ingin menjawab pertanyaan Anda yang pertama. Saya belum menangani kasus ini secara tuntas, tapi saya optimis akan mencapai kesimpulan tak lama lagi. Hanya itu yang bisa saya katakan saat ini." 

"Mungkin Anda tak keberatan mengatakan kepada saya siapa yang Anda curigai?" 

"Tidak, saya tak bisa menjawab pertanyaan itu." 

"Kalau begitu, saya telah membuang-buang waktu, dan tak perlu tinggal lebih lama di sini." 

Penjelajah kenamaan itu langsung meninggalkan tempat kami dengan sikap jengkel, dan lima menit kemudian Holmes menyusulnya. Sahabatku menghilang sampai malam hari, dan ketika dia kembali, langkahnya gontai dan wajahnya kaku, menunjukkan bahwa dia tak mengalami kemajuan dalam penyelidikannya. Dia membaca telegram yang telah menantinya, lalu membuangnya ke perapian. 

"Dari Hotel Plymouth, Watson," katanya. "Aku tahu nama itu dari Pendeta, dan aku mengirim telegram untuk mengecek apa yang dikatakan Dr. Leon Sterndale. Ternyata dia memang menginap di sana semalam dan sebagian bagasinya telah terangkut kapal yang menuju Afrika sementara dia kembali untuk mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini. Bagaimana menurutmu, Watson?" 

"Dia sangat tertarik pada musibah ini." 

"Sangat tertarik—ya. Ada benang merah yang belum kita temukan, dan mungkin di sinilah letak jawaban bagi masalah kita. Jangan sedih, Watson, karena bahan yang kita butuhkan memang belum semuanya terkumpul. Begitu terkumpul semuanya, masalah kita akan segera teratasi." 

Aku sama sekali tak menduga betapa cepat kata-kata Holmes ini akan menjadi kenyataan, atau betapa aneh dan tragis perkembangan baru yang mengubah total arah penyelidikan kami. Keesokan paginya, aku sedang bercukur di jendela, ketika aku mendengar dencing kereta. Ketika kutengok, kulihat sebuah kereta melaju ke arah pondok kami, lalu berhenti di depan pondok. Penumpangnya ternyata Pendeta Roundhay, yang lalu berlari-lari menyusuri jalan setapak di halaman pondok. Holmes sudah berpakaian, dan kami pun bergegas menemuinya. Tamu kami begitu gugupnya sehingga tak mampu mengatakan apa-apa. Tapi akhirnya, dengan terengah-engah dan terbata-bata dia bercerita kepada kami. 

"Setan merajalela, Mr. Holmes! Dia berkeliaran di antara anggota jemaat kami! Tuhan tak lagi melindungi kami!" Dia menari-nari saking gelisahnya—pemandangan yang benar-benar menggelikan kalau saja kami tak menatap wajahnya yang pucat pasi dan matanya yang terbelalak. Lalu dia menyampaikan berita yang sangat mengejutkan. 

"Mr. Mortimer Tregennis menemui ajalnya semalam. Gejalanya persis seperti yang dialami keluarganya." 

Holmes langsung berdiri dengan semangat membara. 

"Apakah kereta Anda bisa menampung kami berdua?" 

"Bisa." 

"Mari, Watson, kita tak perlu makan pagi. Mr, Roundhay, kami siap berangkat sekarang juga. Cepat, cepat, sebelum semuanya menjadi berantakan." 

Mr. Mortimer Tregennis menyewa dua kamar di kompleks pastori gereja. Letaknya di sudut dan bersusun. Kamar bawah merupakan ruang duduk besar, sedangkan kamar di atasnya adalah kamar tidur. Kedua kamar itu menghadap ke halaman yang membentang sampai ke dekat jendela-jendelanya. Kami sampai di sana lebih awal dari dokter dan polisi, jadi keadaan di lokasi masih seperti semula. Aku ingin menjelaskan dengan tepat pemandangan yang kami temui pada pagi hari berkabut di bulan Maret itu. Apa yang kulihat di situ begitu membekas dalam ingatanku, tak mungkin kulupakan. 

Udara di kamar duduk itu amat sangat pengap. Jendelanya sudah terbuka; pelayan yang pertama kali masuk ke situ yang telah membukanya. Seandainya tidak, pastilah udara di situ semakin tak tertahankan. Salah satu penyebabnya ialah lampu minyak yang masih menyala dan mengepulkan asap yang berada di meja di tengah ruangan. Dan di samping meja itulah kami melihat mayat Mr. Tregennis, dalam keadaan duduk di salah satu kursi dan badannya terjatuh ke belakang. Janggutnya yang tipis tergerai ke atas, kacamatanya terangkat ke dahinya wajahnya yang gelap menoleh ke arah jendela dengan ekspresi ketakutan yang amat sangat, persis almarhum kakak perempuannya ketika ditemukan. Tungkai dan lengannya menegang, jari-jari tangan dan kakinya kaku, tanda dia telah menemui ajalnya karena ketakutan yang luar biasa. Dia masih berpakaian lengkap, walaupun ada kesan dia mengenakannya dengan tergesa-gesa. Kami telah diberitahu tempat tidurnya di lantai atas bekas ditiduri dan diperkirakan dia tewas menjelang fajar. 

Siapa pun pasti bisa merasakan semangat Holmes yang menyala-nyala sejak dia memasuki ruang duduk itu. Sesaat dia bersikap tegang dan waspada, matanya bersinar-sinar, wajahnya kaku, lengannya gemetaran. Dia lalu keluar ke halaman, masuk melewati jendela, berkeliling di dalam ruangan, lalu pergi ke kamar tidur, dengan begitu gesit bagaikan seekor rubah yang berlari-lari. Di kamar tidur, dia menatap sekelilingnya selama beberapa saat, lalu membuka jendela. Tindakan ini tampaknya memberinya semangat baru, karena dia lalu menjulurkan badannya ke depan sambil berteriak kegirangan. Dia berlari menuruni tangga, melompat ke luar lewat jendela yang terbuka, lalu tiarap di halaman. Akhirnya dia berlari masuk ke kamar duduk lagi. Lampu di tengah kamar yang bagiku tak ada istimewanya, diamatinya dengan saksama, dan diukurnya tempat minyaknya dengan cermat. Dengan hati-hati dia memeriksa lapisan penyaring yang menutupi bagian atas cerobong asap lampu itu dengan kaca pembesarnya, lalu mengambil sebagian abunya. Dimasukkannya abu itu ke dalam amplop yang kemudian diselipkannya ke dalam buku catatannya. Akhirnya, tepat ketika dokter dan polisi tiba, dia pergi ke rumah si pendeta dan kami bertiga lalu keluar ke halaman. "Saya senang karena penyelidikan saya menghasilkan sesuatu," komentarnya. "Saya tak bisa membicarakan masalah ini dengan polisi, tapi saya perlu minta tolong Anda, Mr. Roundhay, untuk menyampaikan salam saya kepada Inspektur dan mengarahkan perhatiannya ke jendela kamar tidur dan lampu di ruang duduk. Keduanya mempunyai arti yang sangat penting, bahkan kesimpulannya ada di situ. Kalau dia ingin informasi lebih lanjut, persilakan datang ke tempat saya. Dan sekarang, Watson, kurasa sebaiknya kita pergi ke tempat lain." 

Mungkin polisi tak senang ada pihak amatir yang ikut campur tangan, atau mereka merasa mempunyai harapan besar untuk berhasil dalam penyelidikan mereka sendiri. Pokoknya, tak ada kabar dari mereka selama dua hari setelah itu. Sementara itu, Holmes menghabiskan waktunya dengan merokok dan melamun di dalam pondok dan berjalan-jalan sendirian di sekitar pedesaan. Setelah berjam-jam berkeliling, dia kembali tanpa melaporkan ke mana perginya. Tapi ada percobaan yang menunjukkan arah penyelidikannya. Dia membeli lampu yang sama dengan yang kami lihat di kamar Mortimer Tregennis. Diisinya lampu itu dengan minyak yang dipakai di rumah si pendeta, dan dengan saksama dia menghitung berapa lama yang diperlukan sampai minyak itu habis terbakar. Percobaan lain yang dilakukannya lebih tak menyenangkan, dan tak mungkin kulupakan. 

"Ingatlah baik-baik, Watson," komentarnya pada suatu siang, "ada satu hal yang mirip dalam berbagai laporan yang kita terima tentang kasus ini. Yaitu tentang keadaan udara kamar tempat terjadinya musibah, baik yang di Tredannick Wartha maupun yang di rumah Pendeta. Kau pasti masih ingat ketika Mortimer Tregennis menjelaskan kunjungan terakhimya ke rumah keluarganya, dia mengatakan ketika masuk ke ruangan tempat kejadian itu, dokter sampai terjatuh ke kursi. Kau tak ingat? Well, percaya sajalah padaku. Nah, Mrs. Porter, si pelayan tua, juga mengatakan dia pingsan ketika masuk ke ruangan itu, sebelum dia membuka jendela. Pada kasus kedua—yang merenggut nyawa Mortimer Tregennis—kau pasti belum lupa bagaimana pengapnya udara di kamar itu ketika kita tiba, walaupun jendelanya sudah dibuka pelayan. Pelayan itu, setelah kutanyai, menyatakan sesak napas sehingga harus berbaring di kamarnya. Jadi, Watson, kita bisa mengambil kesimpulan dari fakta-fakta ini. Pada masing-masing kasus, terbukti adanya udara yang mengandung racun. Pada keduanya, juga ada sesuatu yang sedang dibakar—pada kasus pertama perapian, pada kasus kedua lampu minyak. 

Perapian memang waktu itu dibutuhkan, tapi lampu minyak sengaja dinyalakan—terlihat dari banyaknya minyak yang dipakai—setelah hari terang. Mengapa? Pasti ada hubungan antara tiga hal berikut ini—nyala api, udara yang pengap, dan akhirnya, orang-orang malang yang menjadi gila atau bahkan menemui ajal mereka, Jelas sekali, kan?" 

"Kelihatannya demikian." 

"Paling tidak kita bisa menerima hal itu sebagai dugaan sementara. Maka, kita akan mengandaikan ada sesuatu yang dibakar pada masing-masing kasus yang menghasilkan udara yang sangat beracun. Bagus sekali. Pada contoh pertama—keluarga Tregennis itu—sesuatu ini dibakar di perapian. Waktu itu jendelanya tertutup, tapi perapian itu pasti menghasilkan asap yang naik ke cerobong. Itulah sebabnya efek racunnya tak begitu keras dibandingkan dengan kasus kedua, yang asapnya langsung terhirup korban. Hasilnya pun menunjukkan demikian. Pada kasus pertama hanya yang wanita yang terbunuh, mungkin karena daya tahan tubuhnya lebih lemah, sedangkan kedua saudara laki-lakinya hanya terkena efek awal yaitu menjadi gila, entah untuk sementara atau selamanya. Pada kasus kedua, hasilnya sempurna. Fakta-fakta inilah yang menguatkan teori adanya racun yang bekerja melalui pembakaran. 

"Dengan pertimbangan seperti itu, tentu saja aku lalu mencari-cari sisa sesuatu itu di kamar Mortimer Tregennis. Tempat yang paling mungkin adalah lapisan penyaring lampu itu. Dan memang benar, aku mendapatkan abu berlapis-lapis yang di pinggirannya ada bubuk cokelat, yang belum sempat terbakar. Separonya kuambil dan kumasukkan ke dalam amplop." 

"Kenapa cuma separonya. Holmes?" 

"Aku tak ingin, sobatku Watson, menghalangi-halangi upaya pihak kepolisian. Semua bukti yang kudapatkan kutinggalkan untuk mereka. Racunnya masih ada di abu itu, kalau mereka cukup cerdik, pasti akan menemukannya. Sekarang, Watson, mari kita memasang lampu, namun kita harus mengambil tindakan pencegahan terlebih dahulu dengan membuka jendela agar jangan sampai dua anggota masyarakat yang berguna ini mati konyol. Silakan duduk di kursi dekat jendela yang terbuka itu, kecuali kalau akal sehatmu melarangmu ikut campur dalam penanganan kasus ini. Oh, kau pasti mau melihat bagaimana racun itu bekerja, kan? Kurasa aku tahu benar bagaimana Watson sobatku ini. Aku akan menaruh kursi ini berseberangan dengan kursimu, sehingga jarak kita masing-masing ke racun itu sama jauhnya, dan kita bisa berhadapan. Pintunya biar terbuka. Sekarang, masing-masing mengawasi temannya dan akan mengakhiri percobaan ini kalau melihat temannya tak tahan lagi. Jelas? Nah, akan kuambil bubuknya—atau lebih tepatnya sisa bubuknya—dari amplop, dan kutaruh di atas lampu yang menyala itu. Sekarang, Watson, mari kita duduk sambil menunggu perkembangan yang terjadi." 

Kami tak perlu menunggu lama. Tak lama setelah aku duduk, aku langsung mencium bau yang pekat dan menyengat, tajam dan memuakkan. Baru pada hirupan pertama saja, pikiran dan khayalanku sudah tak terkontrol. Terlihat awan tebal berwarna hitam yang bergulung-gulung di depan mataku, dan pikiranku mengatakan bahwa dalam awan inilah—walaupun belum kelihatan nyata—terdapat semua penglihatan menakutkan dan mengerikan yang pernah ada di dunia. Mulai terlihat bentuk-bentuk bayangan yang berputar-putar dan berenang-renang di tengah awan hitam itu, masing-masing penuh peringatan akan datangnya sesuatu yang akan mencabut nyawaku. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Kurasakan bulu kudukku berdiri, mataku melotot seolah hendak terloncat ke luar, mulutku ternganga, dan lidahku kelu bagaikan terbuat dari kulit. Kekacauan di benakku sudah memuncak sedemikian rupa sampai terdengar suara yang memekakkan telinga. Aku berusaha menjerit, tapi lalu menyadari hanya rintihan paraulah yang berhasil keluar dari mulutku. Pada saat yang sama, dalam upayaku untuk melepaskan diri, aku berusaha menembus awan hitam itu. Dan sekilas tampak olehku wajah Holmes yang pucat, kaku, dan ketakutan—persis seperti ekspresi mayat yang kami temukan di kamar duduk. Ketika itulah tiba-tiba kesadaran dan kekuatanku terbit kembali. Aku berlari mendekap Holmes, lalu bersama-sama kami berjalan sempoyongan keluar kamar. Kami menjatuhkan diri ke rerumputan dan berbaring berdampingan. Yang masih kami sadari ialah sinar matahari yang cerah, yang perlahan-lahan menembus awan teror yang sempat menjerat kami. Awan hitam itu terangkat dari jiwa kami, bagaikan kabut yang menghilang sedikit demi sedikit dari permukaan bumi sampai akhirnya kami tenang dan kesadaran kami pulih kembali. Kami lalu bangun dan duduk di rerumputan sambil menyeka dahi kami yang basah kuyup. Kami berpandangan dengan penuh keprihatinan sambil meyakinkan diri bahwa kami benar-benar selamat. 

"Demi Tuhan, Watson!" kata Holmes pada akhirnya dengan suara gemetaran. "Aku harus berterima kasih sekaligus mohon maaf kepadamu. Percobaan tadi sangat membahayakan, tak seharusnya aku meminta sahabatku ikut serta. Sekali lagi aku mohon maaf sebesar-besarnya." 

"Tahukah kau," jawabku dengan penuh perasaan, karena tak pernah sebelumnya Holmes berbicara dengan begitu lembutnya, "aku malah gembira dan merasa mendapat kehormatan karena dapat membantumu." 

Sahabatku segera kembali ke sikapnya yang semula—penuh humor, sekaligus sinis. 

"Wah, pasti gempar kalau kita sampai jadi gila, sobatku Watson," katanya. "Orang yang tak memahami kita pasti akan mengatakan kita tentunya memang sudah gila bahkan sebelum melakukan percobaan yang gila-gilaan itu. Kuakui, aku tak menyangka efeknya akan secepat dan sehebat itu." Dia berlari ke dalam rumah, dan keluar lagi sambil membawa lampu minyak yang masih menyala, lalu dilemparkannya lampu itu ke semak-semak. 

"Perlu beberapa saat sebelum ruangan itu terbebas dari efek racun. Aku yakin, Watson, kau sekarang tak lagi ragu tentang bagaimana kedua tragedi itu terjadi." 

"Jelas tidak." 

"Tapi kasusnya masih kabur. Mari duduk di kursi taman ini, dan kita bicarakan hal ini bersama-sama. Zat yang sangat beracun itu rasanya masih menempel di tenggorokanku. Kurasa kita harus mengambil kesimpulan bahwa semua bukti yang ada mengarah kepada orang bernama Mortimer Tregennis itu. Dialah pelaku pada musibah pertama, lalu dia sendiri menjadi korban pada musibah kedua. Pertama-tama kita harus ingat pernah terjadi perselisihan di keluarga itu, lalu mereka berbaikan. Kita tak pernah tahu seberapa parahnya perselisihan itu, ataupun seberapa jauhnya perdamaian yang terjadi. Kalau aku merenungkan pribadi Mortimer Tregennis ini—wajahnya yang licik, dan mata sipitnya yang cerdik yang tersembunyi di balik kacamatanya—dia bukanlah tipe pemaaf. 

"Berikutnya, kau pasti masih ingat penuturannya tentang orang yang bergerak di taman, sehingga sesaat perhatian kita terbawa ke sana dan mengabaikan sumber utama penyebab tragedi itu. Dia memang merencanakan mengelabui kita. Dan akhirnya, kalau bukan dia yang melemparkan zat itu ke perapian ketika dia hendak meninggalkan rumah saudara-saudaranya itu, siapa lagi? Tragedi pertama itu terjadi tak lama setelah kepergiannya. Seandainya ada orang lain yang masuk ke situ, saudara-saudaranya pasti sudah beringsut dari tempat duduknya. Di samping itu, di desa Cornwall yang sepi ini, tak biasanya orang berkunjung setelah jam sepuluh malam. Jadi, kita bisa menarik kesimpulan bahwa semua bukti sangat mengarah kepada Mortimer Tregennis sebagai pelakunya." 

"Kalau begitu kematiannya karena dia bunuh diri?" 

"Well, Watson. Dilihat sepintas tampaknya bisa saja demikian. Seseorang bisa menjadi sangat menyesal karena telah mendatangkan kemalangan yang begitu mengerikan kepada keluarganya sendiri, lalu nekat bunuh diri. Tapi, bisa jadi ada sebab lain. Dan kita beruntung karena ada seseorang di negeri ini yang tahu tentang hal itu, dan aku sudah mengatur agar kita bisa mendengar fakta-faktanya siang ini juga secara langsung darinya. Ah! Dia datang lebih dini dari perjanjian. Mari, di sini saja, Dr. Leon Sterndale. Kami tadi melakukan percobaan kimia di dalam sana, sehingga maaf kalau masih berantakan dan kurang layak untuk menerima tamu sepenting Anda." 

Aku memang mendengar suara pintu gerbang taman dibuka, dan sekarang sosok penjelajah Afrika yang tinggi besar itu muncul di jalan setapak. Dia menoleh dengan terkejut ke arah kursi taman tempat kami duduk. 

"Anda mengundang saya, Mr. Holmes. Saya menerima surat Anda kira-kira sejam yang lalu, dan sekarang saya datang, walaupun sebenarnya saya tidak tahu untuk apa saya memenuhi undangan Anda." 

"Barangkali kita dapat memperoleh penjelasan tentang hal itu sebelum kita berpisah," kata Holmes. "Terima kasih atas kesediaan Anda datang kemari. Maaf, kami menerima Anda di tempat terbuka. Saya dan teman saya Watson hampir menyelesaikan laporan tambahan tentang kasus yang oleh surat-surat kabar disebut 'Cerita Horor dari Cornwall', dan sementara ini kami lebih menyukai udara yang bersih. Karena pembicaraan kita ini mungkin menyangkut hal-hal yang sangat pribadi bagi Anda, kita perlu bicara di tempat yang aman."

Penjelajah Afrika itu mencabut rokok dari bibirnya dan menatap sahabatku dengan tajam. 

"Saya sungguh tak mengerti, Sir," katanya, "apa yang ingin Anda bicarakan yang ada hubungannya dengan diri saya." 

"Tentang terbunuhnya Mortimer Tregennis," kata Holmes. 

Sekejap aku berharap membawa senjata. Wajah Sterndale yang buas menjadi merah padam, matanya menyala-nyala, dan urat-urat darah di dahinya menonjol. Dia lalu melompat ke arah sahabatku dengan tangan terkepal. Tapi serangannya tiba-tiba terhenti, dan dengan sekuat tenaga dia berusaha mengendalikan amarahnya. Dia kembali bersikap tenang, dingin, dan tak bersahabat, yang tampaknya lebih mengerikan daripada luapan kemarahannya. 

"Sudah lama saya hidup dalam dunia yang keras tanpa mengenal hukum," katanya, "sehingga saya terbiasa bertindak menurut hukum saya sendiri. Ingatlah itu, Mr. Holmes, sebab saya tak berniat melukai Anda." 

"Saya pun tak berniat melukai Anda, Dr. Sterndale. Buktinya saya memilih mengundang Anda kemari dan bukannya melapor ke polisi meskipun fakta-fakta sudah di tangan saya." 

Sterndale duduk dengan mulut ternganga—terpana mungkin, untuk pertama kali dalam hidupnya yang penuh petualangan. Ada ketenangan aneh yang penuh wibawa dalam sikap Holmes. Tamu kami tergagap selama beberapa saat, tangannya yang besar dibuka dan dikepalkannya berkali-kali karena gugupnya. 

"Apa maksud Anda?" tanyanya pada akhirnya. "Kalau ini sekadar gertak sambal, Mr. Holmes, Anda salah memilih orang. Mari tak usah berputar-putar lagi. Apa sebenarnya yang Anda maksudkan?" 

"Saya akan segera mengatakannya," kata Holmes, "dan saya harap keterbukaan saya akan Anda balas dengan keterbukaan juga. Apa langkah saya selanjutnya seluruhnya tergantung pada bagaimana Anda membela diri." 

"Membela diri?" 

"Ya, Sir." 

"Kenapa saya harus membela diri?" 

"Karena saya menuduh Anda membunuh Mortimer Tregennis." 

Sterndale mengusap dahinya dengan saputangan. "Dengarlah, Anda sudah keterlaluan," katanya. "Apakah semua keberhasilan penyelidikan Anda disebabkan kelihaian Anda yang luar biasa dalam menggertak orang?" 

"Andalah yang menggertak, Dr. Leon Sterndale, bukan saya," kata Holmes ketus. "Sebagai buktinya, akan saya utarakan beberapa fakta yang mendasari kesimpulan saya. Ketika Anda kembali kemari dari Plymouth, Anda meninggalkan banyak barang Anda di kapal yang menuju ke Afrika. Itulah faktor pertama yang menunjukkan keterlibatan Anda dalam tragedi ini." 

"Saya kembali karena..." 

"Saya sudah tahu alasan Anda, tapi alasan itu tak begitu meyakinkan dan tak cukup kuat. Kita lewati saja hal itu. Anda datang ke tempat saya untuk menanyakan siapa yang saya curigai. Saya tak mengatakannya kepada Anda. Anda lalu pergi ke rumah pendeta, menunggu di depan rumah itu selama beberapa saat, barulah kembali ke tempat Anda." 

"Bagaimana Anda bisa tahu hal itu?" 

"Saya mengikuti Anda." 

"Saya tak melihat ada orang yang mengikuti saya." 

"Begitulah kalau saya sedang mengikuti orang. Anda gelisah semalaman lalu Anda menyusun rencana, yang Anda laksanakan keesokan harinya. Anda meninggalkan rumah pagi-pagi sekali, sambil mengantongi beberapa kerikil kemerahan yang menumpuk di samping pintu gerbang rumah Anda." 

Sterndale terperanjat dan menatap Holmes dengan terheran-heran. 

"Anda berjalan dengan cepat ke rumah si pendeta yang berjarak sekitar satu mil dari rumah Anda. Kalau boleh saya sebutkan, Anda waktu itu mengenakan sepatu tenis yang sekarang Anda kenakan. Sesampai di dekat rumah pendeta, Anda menyeberangi jalan raya dan melompati pagar samping, sehingga Anda pun sampai di bawah jendela kamar yang disewa Tregennis. Waktu itu hari sudah terang, tapi rumah itu masih sepi. Anda mengeluarkan beberapa kerikil dari kantong Anda, lalu melemparkannya ke jendela di atas Anda." 

Sterndale terlompat berdiri. 

"Saya yakin Anda sendirilah si setan itu!" teriaknya. 

Holmes tersenyum mendengar pujian itu. "Anda melempari jendela itu dua atau mungkin tiga kali sebelum penghuni kamar itu mendekat ke jendela. Anda lalu memintanya turun. Dia berpakaian dengan tergesa-gesa, kemudian turun ke kamar duduknya. Anda melompati jendela dan masuk ke situ. Lalu terjadilah pembicaraan—cuma sekejap—sementara Anda mondar-mandir di ruangan itu. Kemudian Anda keluar dari sana setelah menutup jendelanya. Anda berdiri di halaman sambil merokok, menunggu perkembangannya. Akhirnya, setelah Tregennis menemui ajalnya, Anda meninggalkan tempat itu. Sekarang, Dr. Sterndale, bagaimana Anda menjelaskan tindakan seperti itu, dan apa sebenarnya motif perbuatan Anda? Kalau sampai Anda berbohong atau mempermainkan saya, percayalah, semua fakta ini akan saya sebarluaskan." 

Wajah tamu kami menjadi pucat pasi sementara dia mendengarkan tuduhan itu. Kini, dia duduk selama beberapa saat sambil tepekur dengan wajah ditelungkupkan pada kedua tangannya. Kemudian, dengan gerakan refleks yang sangat tiba-tiba, dia mencabut sebuah foto dari saku bajunya dan melemparkannya ke meja kayu di depan kami. 

"Inilah yang menyebabkan saya melakukan itu," katanya. 

Foto itu adalah foto setengah badan dari seorang wanita yang sangat cantik. Holmes membungkuk untuk melihatnya. 

"Brenda Tregennis," katanya. 

"Ya, Brenda Tregennis," ulang tamu kami. "Selama bertahun-tahun saya mencintainya. Dia juga demikian. Desa Cornwall yang terpencil ini menyimpan misteri yang banyak dikagumi orang. Bagi saya pribadi, tempat ini telah memperkenalkan saya kepada satu-satunya wanita yang sangat saya cintai. Sayangnya, saya tak bisa menikahinya, karena saya masih terikat pernikahan dengan istri yang telah lama meninggalkan saya. Peraturan hukum Inggris yang ketat tak memungkinkan saya menceraikannya. Bertahun-tahun Brenda menunggu. Bertahun-tahun saya menunggu. Dan penantian kami berakhir seperti ini." 

Tamu kami yang berbadan besar itu menangis tersedu-sedu, dan memegangi tenggorokannya yang tertutup janggut berwama cokelat kemerahan. Beberapa saat kemudian dia berupaya menguasai dirinya, lalu melanjutkan kisahnya. 

"Pendeta Roundhay tahu tentang hubungan kami. Dia menjadi orang kepercayaan kami. Dia pun akan mengatakan kepada Anda betapa baiknya Brenda, seperti malaikat yang hidup di bumi. Itulah sebabnya dia mengirim telegram kepada saya mengabarkan tentang musibah itu, dan saya langsung kembali kemari. Saya tinggalkan begitu saja barang-barang bawaan saya ataupun rencana kepergian saya ke Afrika begitu mendengar nasib yang menimpa kekasih saya. Inilah mata rantai yang belum Anda ketahui, Mr. Holmes." 

"Teruskan," kata sahabatku. 

Dr. Sterndale mengambil bungkusan kecil dari sakunya dan menaruhnya di meja. Pada kertas pembungkusnya tertulis Radix pedis diaboli dan di bawah tulisan itu ada label racun. Disodorkannya bungkusan itu kepadaku. "Sir, Anda dokter. Pernah mendengar tentang ramuan ini?" 

"Akar kaki setan! Tidak, saya belum pernah mendengamya." 

"Memang tak dikenal di dunia kedokteran," katanya. "Sepengetahuan saya, ramuan ini hanya ada satu sampelnya di laboratorium di kota Buda, dan sama sekali tak bisa ditemukan di seantero Eropa. Juga belum masuk dalam daftar resmi obat-obatan ataupun di buku-buku yang membahas tentang racun. Akarnya berbentuk seperti kaki, setengahnya mirip orang, setengahnya lagi mirip kambing. Seorang misionaris yang juga ahli botani memberinya nama yang unik itu. Ramuan ini dipakai sebagai racun pembunuh oleh dukun-dukun di beberapa wilayah di Afrika Barat, dan sangat mereka rahasiakan. Saya mendapatkannya secara kebetulan di Negara Ubanghi." 

Dia membuka bungkusan itu dan memperlihatkan sejumput bubuk berwarna cokelat kemerahan yang mirip tembakau. 

"Selanjutnya, Sir?" tanya Holmes dengan tegas. 

"Saya akan berterus terang kepada Anda, Mr. Holmes, toh Anda sudah mengetahui sebagian besar kisahnya. Tadi sudah saya jelaskan hubungan saya dengan Brenda. Demi Brenda, saya bersahabat dengan saudara-saudara lelakinya. Dalam keluarga itu pernah terjadi perselisihan menyangkut pembagian uang yang mengakibatkan putusnya hubungan Mortimer dengan kakak-kakaknya. Tapi, akhirnya mereka berbaikan lagi dan saya pun berkenalan dengan Mortimer. Orang ini licik dan penuh akal, dan saya melihat beberapa hal yang mencurigakan dalam dirinya, tapi saya tak bermusuhan dengannya. 

"Suatu hari, baru beberapa minggu yang lalu, dia datang ke rumah saya dan saya pun menunjukkan beberapa benda aneh dari Afrika. Saya juga menunjukkan bubuk ini, dan menceritakan tentang daya kerjanya yang aneh, bagaimana bubuk ini bisa mempengamhi pusat pikiran manusia sehingga mempengaruhi saraf emosi yang menyebabkan rasa takut yang luar biasa, sampai-sampai mengakibatkan kegilaan atau bahkan kematian. Saya katakan kepadanya bahwa ilmu pengetahuan Eropa tak mampu mendeteksi bubuk itu. Bagaimana Mortimer lalu mengambilnya, saya tak tahu, karena saya tak pernah meninggalkan kamar saya. Tapi kemungkinan besar dia melakukannya ketika saya sedang membuka-buka lemari untuk memasukkan isinya ke dalam peti-peti kemas. Saya ingat benar bagaimana gencarnya dia bertanya tentang dosis dan waktu kerja bubuk itu, tapi saya tak pernah membayangkan dia punya niat tertentu. 

"Saya tak memikirkan hal itu lagi sampai telegram Pendeta tiba di Plymouth. Penjahat ini mengira berita musibah itu takkan sampai ke telinga saya, karena mestinya saya sudah berlayar, lalu menghilang bertahun-tahun di Afrika. Tapi nyatanya saya langsung kembali kemari. Mendengar perincian peristiwanya, tentu saja saya langsung menyimpulkan racun sayalah yang telah dipakai. Saya menghubungi Anda untuk mengecek kalau-kalau Anda punya pertimbangan lain. Ternyata tidak ada. Saya pun yakin Mortimer Tregennis-lah pembunuhnya, demi uang, dengan pemikiran, mungkin, jika semua anggota keluarganya menjadi gila, dia dapat menguasai harta mereka. Dia telah menyebabkan kedua kakak laki-lakinya menjadi gila, dan membunuh kakak perempuannya Brenda, satu-satunya orang yang saya cintai dan yang mencintai saya di bumi ini. Itulah kejahatan yang telah dilakukannya, lalu hukuman apa yang pantas baginya? 

"Apakah sebaiknya saya lapor polisi? Bukti-bukti apa yang saya miliki? Saya tak meragukan kebenaran fakta itu, tapi bisakah saya mengharap hakim desa yang terpencil ini percaya akan cerita saya yang fantastis? Kecil sekali kemungkinannya. Saya tak mau gagal, jiwa saya berontak agar saya melakukan pembalasan. Tadi sudah saya katakan kepada Anda, Mr. Holmes, sebagian besar hidup saya dihabiskan di tempat yang tak mengenal hukum, dan saya terbiasa menuruti hukum yang saya ciptakan sendiri. Begitu pula waktu itu. Saya memutuskan dia layak menerima nasib seperti ketiga saudaranya. Begitu, atau tangan saya sendirilah yang akan menegakkan keadilan. Bagi saya nyawa saya sendiri tak ada artinya. 

"Nah, saya sudah menceritakan semuanya. Anda tahu sisanya. Sebagaimana Anda katakan, memang saya gelisah sekali malam itu. Saya berangkat pagi-pagi. Saya sudah tahu saya akan mengalami kesulitan membangunkan Mortimer, jadi saya membawa beberapa kerikil untuk saya pakai melempari jendelanya. Dia lalu turun dan meminta saya masuk lewat jendela ruang duduknya. Saya langsung membeberkan kejahatan yang telah dilakukannya. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya datang untuk menghakimi dan menghukumnya. Dia duduk tanpa daya karena melihat pistol yang saya bawa. Saya lalu menyalakan lampu minyak, menaruh bubuk di atasnya, dan berdiri di luar jendela, bersiap menembaknya kalau-kalau dia mencoba meninggalkan ruangan. Dalam lima menit dia sudah mati. Ya Tuhan! Betapa mengerikan cara dia menemui ajalnya! Tapi hati saya tak melemah sedikit pun karena begitulah dia telah memperlakukan kekasih saya yang tak berdosa. Begitulah kisah saya, Mr. Holmes. Mungkin, jika Anda mencintai kekasih Anda, Anda pun akan berbuat serupa. Pokoknya, saya menyerahkan diri kepada Anda. Silakan Anda berbuat semau Anda. Sebagaimana telah saya katakan, nyawa saya tak ada artinya lagi. Saya tak takut mati." 

Holmes duduk diam selama beberapa saat. 

"Apa rencana Anda selanjutnya?" tanyanya pada akhimya. 

"Tadinya saya berniat mengubur diri di Afrika tengah. Pekerjaan saya di sana belum selesai." 

"Pergilah, dan selesaikan pekerjaan Anda," kata Holmes. "Saya tak berniat menghalangi Anda." 

Dr. Sterndale berdiri, membungkuk memberi hormat, dan berjalan meninggalkan kami. Holmes menyulut pipanya dan menyerahkan kotak tembakaunya kepadaku. 

"Asap yang tak beracun ini akan memberikan variasi yang menyenangkan," katanya. "Kurasa kau sependapat, Watson, bukan hak kita untuk mencampuri urusan pengadilan. Penyelidikan kita independen, jadi kita tak bertanggung jawab pada yang berwajib. Kau tak akan melaporkan orang itu, kan?" 

"Jelas tidak," jawabku. 

"Aku belum pernah mencintai seorang wanita, Watson, tapi kalau itu terjadi, dan kekasihku tertimpa nasib seperti itu, aku pun mungkin akan bertindak seperti si pemburu singa dengan hukum rimbanya sendiri. Siapa tahu? Nah, Watson, aku tak ingin menyinggung perasaanmu dengan menjelaskan apa yang sudah jelas. Yang menjadi awal penyelidikanku, tentu saja, adalah kerikil yang kutemukan di bingkai jendela. Kerikil itu lain dengan yang ada di rumah pendeta. Sejak itulah perhatianku beralih ke Dr. Sterndale, karena aku menemukan kerikil seperti itu di halaman rumahnya. Lampu yang menyala ketika hari sudah terang dan sisa-sisa bubuk di penyaring abu adalah petunjuk-petunjuk yang kudapatkan setelah itu. Dan sekarang, sobatku Watson, kurasa kita akan menyingkirkan kasus ini dari pikiran kita, dan dengan pikiran yang jernih, mari kita mempelajari bahasa Cornwall yang masih bersaudara dengan bahasa Chaldea."